Perlu Kajian Mendalam Untuk Antisipasi Hindari Konflik Lahan di Bangli

banner 468x60

Denpasar – baliwananews.com | Tri Hita Karana adalah konsep hidup yang dianut masyarakat Bali yang berasal dari ajaran Hindu. Konsep ini mengandung makna bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan berasal dari keharmonis hubungan yang harmonis dengan Tuhan, lingkungan dan sesama manusia yang mestinya sudah menjadi sebuah kesepakatan bersama dan tidak hanya sekedar sebuah filosofi.

Pelanggaran konsep tata ruang, konservasi lahan dengan mengeksploitasi lingkungan dengan disulap menjadi tempat-tempat usaha serta penanganan infrastruktur yang amburadul yang tentunya berdampak jebolnya resapan air yang berujung banjir dimana-mana hampir di seluruh wilayah di Bali yang secara keseluruhan akibat sebuah kebijakan.

“Ditambah lagi dengan kontestasi politik yang diharapkan muncul kader-kader yang berkualitas sesuai harapan namun ironisnya malah sebaliknya,” kata Pengamat sosial dan kebijakan publik, Ida Bagus Susena di Denpasar, Jum’at (27/12/2024).

Terlihat tidak becus nya kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah terkait pemangkasan bukit-bukit di kawasan Uluwatu demi pembangunan villa-villa mewah.

“Memang tujuannya untuk pariwisata namun semestinya melihat pembangunan juga harus mengedepankan hubungan yang yang harmonis dengan menjaga kesucian dan kesakralan lingkungan,” tutur IB. Susena.

Aktivis dan pengamat sosial dan lingkungan I Made Somya Putra mengemukakan bahwa jika melihat dari sisi hukumnya kita harus memandang koneksitas dari Ketersediaan infrastruktur dan struktur Kebijakannya antara lain penguasa dengan kebijakannya, Substansi dan Kultur budaya yang berkembang di masyarakat.

“Investasi yang masuk mestinya tidak merubah kebijakan aturan hukum yang mestinya tidak boleh dirubah demi toleransi investasi lantas bagaimana pemahaman masyarakat terhadap lingkungan apakah masih sama persepsinya ataukah jangan-jangan malah juga sudah berubah,” kata Somya.

Disini peraturan juga harus melihat aspek yuridis terkait payung hukum, filosofis yaitu mengapa aturan itu dibuat dan sosiologis yaitu apakah tepat aturan itu diterapkan di Bali. “Jangan sampai aturan kebijakan yang dibuat Pusat malah tidak bisa diterapkan di Bali,” tambahnya.

Menurutnya, Para Petani yang telah dicekoki pajak bumi dan bangunan yang besar namun penghasilannya tidak sepadan dengan harapan tentunya harus ekstra bekerja keras untuk mendiversifikasi atau merubah lahannya untuk tetap Produktif ketimbang tetap bertahan dan dan mendiversifikasi lahan ketimbang malah akhirnya menjadi miskin .

“Dan saat ini kasus-kasus tersebut sudah mulai terjadi seperti kebijakan dari pusat yang berbenturan dengan kepentingan masyarakat lokal yang sudah turun-temurun sejak nenek moyangnya menempati lahan di kawasan Bangli,” terang Somya.

Somya mengingatkan bahwa di masa datang kasus-kasus konflik lahan akan semakin banyak terjadi dan malah lebih hebat fenomenanya.

“Sebab terganggunya keseimbangan hidup masyarakat lokal (Buana Alit) yang tadinya hidup bekerja mengurus lahannya dengan penuh kedamaian yang berdampak pada kepentingan Buana Agung. Maka kedepan perlu suatu kajian mendalam dan komprehensif untuk mengantisipasi konflik-konflik lahan di Bangli,” pungkas Somya. (hd)

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *