Denpasar – baliwananews.com | Pemprov Bali semestinya melakukan kajian mendalam sebelum Gubernur Wayan Koster meneken Surat Edaran (SE) tentang Gerakan Bali Bersih Sampah yang melarang produksi dan distribusi air minum kemasan plastik di bawah satu liter.
Akademisi dan pengamat kebijakan publik dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Bali, Dr. Drs. I Nyoman Subanda, baru-baru ini mengatakan, jika sebuah kebjikan dibuat merujuk ke hasil kajian maka tidak akan memicu kontroversi di masyarakat.
“Saya setuju dengan gagasan Gubernur Wayan Koster untuk mengurangi sampah plastik sekali pakai di Bali. Cuma permasalahannya, kebijakan itu kan perlu dikaji lebih jauh lagi apakah sampah seperti kemasan air minum ukuran kecil itu yang memang benar-benar paling berat atau malah ada sampah plastik lainnya seperti kresek (kantong plastik) dan sachet,” ujarnya.
Dosen Tetap Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Undiknas Denpasar itu menuturkan, Pemprov Bali tidak boleh membuat kebijakan secara terburu-buru. Sebab, sebuah kebijakan dapat terimplementasi secara efektif bila ada sumber daya dan sumber dana yang mendukung. “Yang lain adalah adanya komunikasi, yang didahului dengan komunikasi awal, yang kita sebut dengan sosialisasi,” tuturnya.
Dia menambahkan, setiap kebijakan juga harus ada semacam kelayakan dan struktur birokrasi yang linier. Artinya, birokrasi provinsi harus didukung kabupaten/kota sampai ke tingkat desa. “Kebijakan provinsi itu tidak akan efektif jika tidak didukung aparat desa atau dusun daerahnya,” ujar dia.
Larangan peredaran air minum dalam kemasan (AMDK) plastik di bawah satu liter itu juga memunculkan beban bagi masyarakat adat, terutama ketika mereka melaksanakan kegiatan yang melibatkan warga banjar. Mereka memerlukan air kemasan plastik ukuran kecil dalam jumlah besar. Keberadaan air minum kemasan kecil juga memudahkan masyarakat dalam menjalankan kegiatan adat di Bali. “Itu artinya, kebijakan Pemprov belum linier dengan masyarakat desa,” kata Subanda.
Pemprov Bali juga harus memiliki sumber dana yang cukup sebagai dana kompensasi bagi pihak-pihak yang dirugikan karena diberlakukannya SE nomor 09 tahun 2025 itu. Para pengusaha, menurut Subanda, harus menghitung berapa besar kerugian mereka.
”Itu penting dinegosiasikan dengan mereka. Bagi pengusaha yang dirugikan penting melakukan negosiasi, karena mereka kan bukan hidup untuk dirinya sendiri, tapi juga menghidupi para karyawan. Itu kan harus ada kompensasi pemerintah terhadap itu? Jadi, tidak bisa Pemprov itu seenaknya memaksakan kebijakannya itu wajib harus dijalankan dan disetujui. Jadi, harus ada kajiannya dan solusinya bagi pihak-pihak yang dirugikan,” katanya.
Gubernur Bali juga harus memikirkan solusi bagi perkantoran, perhotelan dan para pengusaha restoran yang terdampak pelarangan peredaran air kemasan plastik di bawah satu liter. Jika mereka menggunakan gelas untuk menyajikan air minum, bukan berarti tidak ada masalah.
“Begitu juga dengan gelas-gelas minumnya, apakah Pemprov bisa mengawasi gelas-gelas itu memiliki standar kesehatan yang baik atau bukan. Hal-hal seperti ini juga harus masuk dalam kajian sebelum membuat surat edaran itu,” ucapnya.
Pemprov Bali juga harus memikirkan perekonomian masyarakat Bali, terutama yang menggantungkan hidupnya dari berjualan air minum kemasan ukuran kecil itu. “Mereka pasti akan kehilangan nafkahnya. Nah, apakah Pemprov juga sudah memikirkan jalan keluarnya saat kebijakan itu diterapkan nanti,” katanya.
Subanda mengatakan semua dampak yang timbul tidak bisa terpecahkan bila pemberlakuan SE tersebut tidak dilakukan kajian terlebih dulu.
“Dan diskusinya nggak bisa di pemerintah saja, karena menyangkut paradigma baru yang disebut New Public Service dalam kebijakan itu. Jadi, semua pihak terkait harus diajak berdiskusi, diajak mikir dan ketika merumuskan kebijakan itu pun harus dilibatkan,” tukasnya.
Terpisah, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Gerindra, Kardaya Warnika, menyambut positif kebijakan pengurangan sampah plastik yang dilakukan Pemprov Bali. Tapi, dia menyarankan agar Pemprov bersedia untuk merembugnya kembali jika masih ada mekanisme yang belum pas di masyarakat. “Mungkin bisa dirembug lagi, diatur kembali sehingga sesuai dengan mekanisme yang pas,” ujarnya.
Dia juga berharap pembenahan sampah plastik sekali pakai di Bali ini tidak hanya sebatas untuk air minum kemasan saja, tapi juga untuk semua jenis plastik sekali pakai termasuk sampah sachet. (hd)