Denpasar (Baliwananews.com) – Demo #ResetIndonesia 2025 ala Gen-Z dikemas dengan humor, cosplay, dan aksi kreatif, membuat tuntutan serius seperti tarik TNI ke barak, usut kekerasan aparat, hingga reformasi DPR lebih viral. Gerakan ini menunjukkan tawa dan kreativitas bisa jadi senjata politik efektif.
Demonstrasi di Indonesia selalu punya denyut uniknya sendiri. Dari era Soekarno, mahasiswa turun ke jalan dengan jargon “Turunkan Harga” atau “Ganyang Malaysia”; di masa Orde Baru, demonstrasi dibayar dengan air mata, pentungan, bahkan peluru. Reformasi 1998 adalah klimaks, ketika jalanan dipenuhi lautan manusia yang wajahnya lebih sering kusut daripada tertawa.
Namun kini, 2025, demonstrasi punya wajah baru. #ResetIndonesia menghadirkan generasi Z dengan cara yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Mereka datang bukan hanya membawa tuntutan politik, tapi juga menghadirkan pertunjukan: komedi, cosplay, bahkan koreografi kolektif. Sekilas tampak seperti karnaval, tapi jangan salah. Di balik tawa, ada perlawanan. Di balik kostum konyol, ada kritik tajam. Inilah revolusi gaya baru: demonstrasi yang tertawa sambil melawan.
Di tengah lautan manusia, ada yang pakai gigi palsu bertaring, ada cosplay kuntilanak di siang bolong, bahkan ada Ultraman yang memimpin orasi. Sementara itu, seorang mahasiswa dengan santai menggelitik kumis polisi yang sedang menjaga barikade. Polisi itu kikuk, antara menahan tawa atau menahan amarah. Sekilas, pemandangan ini seperti adegan komedi situasi. Tapi bagi Gen-Z, justru di situlah letak perlawanan yang menertawakan kekuasaan yang selama ini menakutkan. Mereka sedang membalik naskah: aparat yang biasanya tampil sangar, kini jadi bahan tertawaan.
Dan jangan salah, meski mereka datang dengan kelucuan, isi kepala mereka serius. Di balik cosplay dan meme, ada daftar panjang tuntutan. Sebagian besar menyasar hal-hal fundamental seperti: tarik TNI kembali ke barak, usut tuntas kematian korban kekerasan aparat, hentikan kenaikan gaji DPR, bebaskan demonstran yang ditahan, hingga jaminan upah layak bagi buruh dan pekerja lepas. Ada juga tuntutan yang lebih jangka panjang seperti: reformasi besar-besaran DPR, perbaikan sistem kepolisian, hingga pengesahan UU perampasan aset koruptor. Lucu di luar, tapi serius di dalam.
Bayangkan jika daftar serius seperti itu dibacakan di tengah kerumunan yang dipenuhi cosplay horor, poster kocak, dan tawa massa. Inilah kontradiksi unik generasi ini, mereka bisa mengemas keseriusan politik dengan bungkus komedi, dan justru karena itulah pesan mereka lebih mudah sampai.
Kalau tuntutan ini hanya dibacakan dengan wajah muram, mungkin media hanya menyorot kericuhan. Tapi ketika disampaikan lewat aksi teatrikal, dunia maya langsung penuh dengan potongan video, meme, dan poster digital. Tiba-tiba, orang-orang yang biasanya apatis ikut membaca isi tuntutan karena viral di TikTok. Di sinilah kecerdikan Gen-Z, mereka sadar bahwa politik di era digital harus dikemas seperti konten. Mereka bisa menertawakan, sekaligus mengajarkan.
Simbol yang Meledak dari Jalanan
Dari demonstrasi #ResetIndonesia, lahirlah warna-warna yang tak sekadar estetika, tapi simbol perlawanan. Ada warna pink, dari sosok emak berkerudung pink yang berdiri di garis depan. Ia menjadi ikon kelembutan yang melawan, semacam antitesis dari citra maskulin aparat berseragam. Pink bukan lagi hanya warna imut, melainkan lambang keberanian domestik yang menolak ditundukkan.
Ada warna hijau, dari jas hujan ojek online yang kini jadi monumen tragis. Hijau itu bukan sekadar seragam ojol, melainkan simbol solidaritas. Ia mengingatkan bahwa rakyat kecil yang mencari nafkah sehari-hari bisa jadi korban kekerasan negara kapan saja. Ada pula biru dongker, lautan massa yang bergerak kompak. Biru dongker adalah warna rakyat yang menyatu, sederhana tapi tegas. Ia menandai bahwa perlawanan ini bukan kerja individu, melainkan kerja kolektif.
Simbol-simbol ini lahir bukan dari ruang rapat aktivis, bukan pula dari strategi partai politik. Mereka lahir dari jalanan. Dari darah, tawa, dan kebetulan yang kemudian menjelma jadi identitas. Inilah cara Gen-Z berkomunikasi secara spontan, cair, tapi sarat makna.
Massa yang Peduli dan Sadar
Stereotip lama selalu mengatakan bahwa massa aksi itu liar, destruktif, hanya tahu ricuh. Tapi fakta di lapangan justru berbalik. Gen-Z menunjukkan bahwa mereka punya kesadaran kolektif yang tinggi. Mereka mencegah perusakan halte TransJakarta, mengingatkan kawan yang mencoba bertindak di luar batas, bahkan mengusir intel yang menyusup di tengah barisan. Lebih dari itu, ada keputusan sadar untuk menghentikan aksi lebih awal demi menghindari kemungkinan darurat militer.
Bagi sebagian orang, ini mungkin mengejutkan, kok bisa anak-anak yang suka bercanda justru lebih disiplin daripada generasi sebelumnya? Jawabannya sederhana, karena mereka lahir di era yang penuh informasi, terbiasa membaca tanda semiotik, dan tahu bahwa politik bukan hanya soal marah, tapi juga soal strategi.
Edukasi dalam Komedi
Bagi Gen-Z, komedi adalah cara paling serius untuk bicara. Meme dan humor menjadi pintu masuk yang membuat politik lebih bisa diakses. Selebaran dibagikan, diskusi kecil digelar di trotoar, dan konten TikTok menjelma jadi ruang kuliah umum.
Mereka sadar: rakyat Indonesia lebih mudah belajar lewat tawa daripada teks panjang. Maka demonstrasi pun berubah jadi kelas terbuka dengan stand up, cosplay, dan humor sebagai kurikulumnya. Orang datang karena lucu, tapi pulang dengan kesadaran baru. Komedi di tangan Gen-Z bukan sekadar hiburan. Ia adalah senjata politik.
Kita boleh menertawakan aksi-aksi absurd ini, tapi jangan salah, mereka tidak sedang main-main. Gen-Z sedang merumuskan ulang bentuk perlawanan. Dengan komedi, mereka membongkar rasa takut. Dengan cosplay, mereka menyindir kekuasaan. Dengan edukasi, mereka menanam benih kesadaran. Revolusi ini mungkin terlihat konyol, tapi justru di situlah letak keseriusannya. #ResetIndonesia bukan hanya protes. Ia adalah panggung besar di mana generasi baru mengajarkan kita, bahwa tertawa juga bisa jadi bentuk perlawanan paling serius.
Subscribe