Jimbaran (Baliwananews.com) – Pasca Ditolaknya mentah-mentah ijin permohonan renovasi berbagai Pura yang berada diwilayah penguasaan PT Jimbaran Hijau meskipun atas arahan PHDI Badung dan MDA. PT Jimbaran Hijau lewat kuasa hukumnya Ignatius Suryanto (Igan) beralasan menunggu proses laporan pidana yaitu penyerobotan dan proses perdata yang sedang berlangsung. Atau sambil menunggu kepastian arahan dari manajemen yang tentunya membuat masyarakat desa adat setempat kecewa meski mediasi telah diinisiasi pihak kelurahan dan Polsek Kuta Selatan, Senin (3/11/2025).
Pasalnya, Pura Belong Batu nunggul yang berada di desa adat jimbaran sudah menerima dana hibah renovasi Pura dari pemerintah Provinsi Bali dan harus selesai pelaksanaan renovasinya pada 10 Januari 2026 mendatang.
“Dana hibah yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Bali dan yang sudah diserahterimakan, apabila tidak bisa digunakan dikarenakan suatu hal maka wajib dikembalikan ke kas daerah,” kata Perwakilan dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Penolakan ijin untuk merenovasi pemugaran Pura tersebut sungguh sangat memilukan karena perusahaan tersebut tidak lagi melihat kepentingan masyarakat yang lebih besar bahkan ditambah dengan adanya portal masuk jalan sebelum warga hendak ke Pura.
“Mediasi dengan kuasa hukum PT Jimbaran Hijau ini sudah tidak ada titik temu karena dengan alasan harus menunggu decision maker jadi untuk apa mediasi ini dibuat kalau ternyata harus menunggu keputusan manajemen kembali,” tutur Tokoh Desa Adat Jimbaran I Gusti Putu Aryana dengan nada gusar.
Sejumlah perwakilan Desa Adat Jimbaran melakukan mediasi untuk menyampaikan tuntutan pemenuhan hak mereka sebagai masyarakat adat. Mereka meminta negara mengembalikan tanah adat seluas 31 hektare yang sejak tiga dekade lalu digunakan untuk proyek pariwisata tanpa transparansi perpanjangan hak guna bangunan (HGB) serta diberikannya akses untuk merenovasi beberapa Pura namun tidak juga diberikan PT Jimbaran Hijau.
Kepala Desa Adat Jimbaran, Anak Agung Rai Dirga, menyampaikan sebagian besar tanah yang dahulu dikuasai masyarakat kini sudah berpindah ke tangan korporasi. Lahan adat mereka termasuk dalam area yang dirancang untuk proyek seluas 200 hektare sejak awal 1990-an, dan hingga kini sebagian besarnya tidak digunakan secara produktif.
“Lahan itu dulu dipakai masyarakat untuk bertani dan beribadah. Sekarang, tidak ada akses. Bahkan pura yang ada di sana memang bisa dimasuki namun dengan akses terbatas dan jalan penuh kubangan lumpur,” kata Agung saat ditemui usai mediasi di Kantor Kelurahan Jimbaran.
HGB atas lahan tersebut tercatat habis pada 2019. Namun, warga tidak menerima informasi resmi apakah hak tersebut diperpanjang atau dikembalikan ke negara. “Padahal, menurut aturan, tanah negara yang telantar selama lebih dari tiga tahun bisa ditarik kembali untuk didistribusikan ulang kepada pihak yang berhak,” kata Agung.
Data yang dibawa warga menunjukkan sekitar 300 kepala keluarga kini tidak memiliki akses memadai terhadap lahan produktif. Mereka hidup berdampingan dengan kawasan hotel dan wisata kelas atas, namun menghadapi kesulitan ekonomi karena keterbatasan ruang hidup dan biaya hidup yang tinggi.
Agung juga menyampaikan bahwa keluhan serupa telah disampaikan ke pemerintah daerah, DPRD, hingga lembaga peradilan, tetapi tidak membuahkan perubahan.
Pihaknya berharap intervensi pemerintah pusat melalui Presiden Prabowo Subianto agar bisa membuka jalan penyelesaian.
“Jika tanah negara yang sudah tidak digunakan itu dikembalikan kepada masyarakat hukum adat, setidaknya warga kami bisa kembali punya penghidupan yang layak,” katanya.
Linda Rahmawati, pegiat budaya yang juga keluarga masyarakat adat Jimbaran mengungkapkan, Pada awal 1990-an, PT Citra Tama Selaras membayar Rp35 juta kepada Kepala Desa Adat Jimbaran (alm. Jro Mangku Wayan Tembong) untuk memperoleh HGB atas lahan adat sekitar 31 hektare.
HGB tersebut lalu dialihkan ke PT Jimbaran Hijau tanpa melibatkan warga adat. Dan ternyata, sebagian besar lahan tidak dimanfaatkan sebagaimana izin melainkan dibiarkan telantar dan tidak ada tanda-tanda dipersiapkan sarana dan infrastruktur Anehnya HGB Jimbaran Hijau malah diperpanjang pada 2010 dengan alasan penggunaan untuk KTT APEC 2013.
”Aturan menyatakan bahwa tanah tidak produktif lebih dari tiga tahun harus dikembalikan ke pemilik hak lama atau negara, bukan diperpanjang haknya,” kata Linda.
Pihaknya berencana mengadukan permasalahan ini ke dewan atau bisa juga ke Komnas Hak Asasi Manusia. (hd)











