Somya : Pemerintah Terlalu Manjakan Investor Dengan Dalih Kepentingan Penanaman Modal

banner 468x60

Bangli – baliwananews.com | Ada beberapa kasus pertanahan di tanah air seperti pemagaran laut di Pantai Indah Kapuk (PIK) dan perairan Bekasi. Kalau di Bali masyarakat “tersengat” oleh dikuasainya sebagian kawasan Pulau Serangan dengan dibatasinya akses masyarakat dan berubahnya plang nama Pulau Serangan menjadi Jalan Pulau Kura-kura Bali dan ada puluhan sertifikat bermasalah di Ubud yang lahannya dikuasai oleh investor dari Jerman dan kesemuanya diakibatkan karena dengan mudahnya pemerintah memberikan konsesi atas nama penanaman modal bagi sejumlah lahan-lahan vital seperti Teluk, pulau bahkan kawasan yang dilindungi sehingga membatasi akses publik.

“Masyarakat agak sulit memperoleh akses bersembahyang kalau dahulu bebas masuk sekarang harus ada kesepakatan dengan pihak-pihak tertentu bahkan asset investor sudah masuk ke sisi kawasan lain yang belum kentara seperti Pantai Amet, Sraya dan Bukit Gumang dan kita juga tidak tahu bagaimana situasi tanah sekitaran Pantai Lovina,” kata Pengamat Kebijakan Publik, I Made Somya Putra SH. MH

Dalam waktu dekat kita juga mulai ketar-ketir dengan situasi di kawasan Kintamani karena asset danau sekarang sudah mulai ada privatisasi untuk industri pariwisata, kalau dahulu asset danau digunakan untuk kepentingan masyarakat namun saat ini sudah ada kepentingan bisnis yang masuk disana.

“Seperti halnya di Danau Tamblingan juga sudah ada masalah menyangkut kepentingan investor juga ada klaim investor di Handara, kesemuanya terjadi karena perubahan mindset dari pemerintah bahkan sekarang pendaftaran OSS (Online Single Submission) menjadi kambing hitam, padahal OSS hanyalah sebatas pendaftaran usaha saja dan semestinya pemerintah menjadi operator yang memfilterisasi,” kata Somya yang juga pengacara ini

Somya mencontohkan kasus di Tanaya yang membuat tercengang masyarakat dimana tiba-tiba muncul adanya suatu perijinan yang berasal langsung dari pusat.

Kita harus mewaspadai adanya regulasi yang berubah secara drastis seperti misalnya Tata Ruangnya dirubah, kalau dahulu kita menolak reklamasi itu karena terjadi perubahan dari wilayah konservasi beralih menjadi kawasan reklamasi dengan peraturan hukumnya dirubah. Kalau dahulu semula adalah kawasan hijau namun tetiba sekarang sudah bisa dibangun dengan konspirasi terselubung oknum Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR BPN) nakal.

Satu hal yang sangat disayangkan adalah dengan mudahnya masyarakat menjual tanahnya dengan kisaran harga yang menurut mereka sudah lumayan tinggi namun di mata investor sangatlah rendah. Ditambah gaya hidup konsumtif masyarakat dan tradisi Tajen (sabung ayam) dan berpesta minuman keras di cafe serta kebutuhan lainnya membuat semakin cepat beralihnya kepemilikan lahan di Bali.

Hal yang perlu ditelusuri adalah banyaknya aturan-aturan adat yang berubah seiring ‘kerjasama’ desa adatnya tersebut dengan pihak ketiga. Terlihat di Pulau Serangan dimana mulai fenomena gesekan terkait dalih investasi namun malah desa adat berpotensi membelanya. Problema itu yang pada akhirnya posisi desa adat terlihat menjadi tidak kuat.

“Barangkali kedepan, pemerintah perlu mengambil pelajaran dari berbagai rentetan kasus gesekan konflik lahan ini,” tutur Somya.

Disinilah kita perlu menerawang kedepan kurang lebih 20 tahun berjalan bahwa sebenarnya model pembangunan yang bagaimana yang harus direncanakan kedepan. Tapi menurut pemikiran kami sebaiknya kita perlu mencontoh atau menjadikan daerah kita ini sebagai sebuah ladang penanaman modal asing yang terlupakan besar-besaran.Ambil contoh misalnya di kawasan Kintamani saja bangunan-bangunan dengan arsitektur khas Kintamani sudah hampir semuanya berubah menjadi bangunan-bangunan dengan arsitektur bergaya modern sehingga kekayaan ciri khas budayanya kian bergeser memudar, begitu pula dengan bangunan hotel-hotel dan villa di Ubud yang hampir merata menjadi bergaya arsitektur modern eropa

“Seiring masuknya investasi yang tentunya mengikuti gaya keinginan budaya negara investor jadi bukan budaya asli kita yang ditonjolkan, ditambah lagi dengan wacana dan keinginan wisata Halal dan syariah yang malah sedikit banyak mempengaruhi konsep dan eksistensi nilai-nilai budaya Bali,” kata Somya.

Maka untuk itu perlu pemikiran yang komprehensif dan berkelanjutan dengan mengacu pada nilai dan akar budaya Bali itu sendiri bahwa tidaklah harus dominan investasi luar yang masuk dengan membawa serta gaya arsitektur budaya luar. Misalnya dengan ala sederhana saja bahwa di Kintamani haruslah pembangunan yang berkonsep arsitektur ala Kintamani saja demikian pula halnya dengan kawasan lain seperti Karangasem haruslah mengacu pembangunan bergaya arsitektur budaya Karangasem sehingga masing-masing wilayah memiliki ciri khas budaya tersendiri. (hd)

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed