Oleh :
Advokat I Made Somya Putra, SH. MH.
Denpasar – baliwananews.com | Terdapat beberapa kasus jika kita menelaah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa tahun silam terkait pemilihan kepala daerah dan Pilpres jika kita flashback kebelakang, terutama yang akhirnya menjerat mantan Ketua MK, Akiel Mochtar, Patrialis Akbar hingga pemberhentian Anwar Usman yang masuk kategori Pelanggaran Berat.
Mahkamah Konstitusi mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Namun ternyata dalam prakteknya MK juga mulai merumuskan isi Pasal-Pasal dalam Putusannya dengan pertimbangan penafsiran, penalaran dan argumentasi hukum, walaupun ada disenting opinion dalam putusannya yang berarti penafsiran, penalaran dan argumentasi masing-masing hakim dapat berbeda-beda.
Atas praktek yang demikian, maka Hakim-hakim MK kemudian seperti memiliki kekuatan untuk merubah peta politik dan hasil pemilu melalui putusannya, sehingga muncullah kasus-kasusnyang menjerat hakim-hakimnya.
Bagi saya, MK dengan kasus yang telah tercatat BUKANLAH LEMBAGA YANG SUCI LAGI… IA TERNODA KARENA OKNUM-OKNUM HAKIMNYA. Dam terbukti MK dalam hal Ke-PEMILU-an BUKANLAH PENJAGA KONSTITUSI murni..
Karena putusannya sudah pada menguntungkan dan merugikan secara teknis pencari hak untuk dipilih dan memilih yang seharusnya condong pada fungsi legislatif.
Sehingga di Indonesia sebenarnya semuanya berpeluang menjadi alat Kekuasaan, baik DPR nya dari atas sampai bawah, eksekutif nya dari atas sampai bawah, ataupun yudikatifnya dar atas sampai bawah.
Dari sini, kita menyadari dalam LEGAL STRUKTUR kita punya masalah besar dalam.menjaga yang namanya konstitusi? Bagaimana tidak? Kita sudah tidak mampu menjadi UUD 1945 sampai diamandemen 4 kali, yang tidak perlu penafsiran, penalaran atau argumentasi banyak, tapi masih saja runyam karena pertimbangan teknis atas bunyi-bunyi pasal.
Soal pemilu yang membuat runyam KONSTITUSI.
Ada baiknya kita sedikit kita renungkan masalah mencari atau melangsungkan kekuasaan melalui Pemilu ini.
Contoh saja masalah Gibran Rakabumi Raka.
Masyarakat sudah disajikan dengan dirty vote, diserang habis-habis masalah etika, politik dinasti, masih bocah, dan lainnya oleh aktivis, mahasiswa, lawan politiknya, akademisi dan lainnya. Bahkan pamannya ANWAR USMAN sendiri sempat dipecat dari ketua MK, NAMUN IA JUSTRU DIPILIH sebagian besar RAKYAT dengan cara diuji publik dan hukum dimana dimenangkan oleh MK dan disahkan KPU.
Artinya rakyat ini terlihat maunya dipimpin yang dinilai dirty vote, yang tidak beretika, berpolitik dinasti, dan masih bocah, sebab hal ini ternyata tidak terjadi di kancah pilpres saja, tapi juga terjadi pada kancah PILEG.. apakah mungkin pada kancah PILKADA? Ya sangat mungkin… TERGANTUNG RAKYAT YANG MEMILIH.
Drama antara DPR dan MK yang memastikan demonstrasi adalah buah dari kepemiluan kita yang bermasalah dari bawah (kesadaran pemilihnya). PEMILIH memilih anggota DPR, DPRD karena Hibah, dan money politik yang tidak perduli dengan dinasti atau traktir record.
Maka saya pikir masalah kepemiluan ini dalam rangka mengkoyak Konstitusi ini, juga masalah LEGAL CULTURE (Budaya Hukum) alias perilaku masyarakat juga… jadi tidak bisa diturunkan pada 1 keluarga, 1 lembaga, atau 1 kelompok.
LEGAL STRUKTUR didukung dengan LEGAL CULTURE akan mudah mengkondisikan LEGAL SUBSTANSI (aturan hukumnya)
Elit Politik dan kepentingan asing
Kita harus tahu, bahwa Konstitusi saat ini bukan lagi Konstitusi Yang Lahir dari Pemikir Pendiri Bangsa, karena sudah 4 kali diamandemen. Ketika amandemen pasal-pasal baru ada karena atas afirmative action dari kepentingan dunia seperti halnya HAM.
Semenjak kemenangan Prabowo Gibran Kegaduhan di negeri ini malah semakin menjadi-jadi. Dari bangunan IKN, Pakaian Paskibraka, sampai RUU Pilkada…
Apakah yakin semua ini tidak saling berhubungan? Anehnya saya amati Facebook, Tiktok dan Twitter begitu masif menyebarkan yang terlihat lebih seperti akun boot.. jadi apakah yakin isu ini tidak ditunggangi asing?
Daya ledak media sosial, ditambah lagi politisi yang berubah menjadi narasumber Menjadikan kegaduhan menjadi-jadi.
Tapi perlu disadari kemudian mahasiswa wajib kita acungi jempol karena mampu membendung pembahasan RUU PILKADA. Walaupun gerakan ini menjadi isu mudah ditunggangi elit politik dan asing, karena tujuannya bukan mengamankan Konstitusi tapi menjatuhkan PRABOWO dengan alasan bergandengan dengan Jokowi.
ARTINYA SEMUA JUGA KARENA KEKUASAAN, yang berusaha akan mengganti kebijakan hilirirasi, non blok dan berdikari, alias Indonesia tidak akan diberikan maju karena kegaduhan dan kepemimpinan yang harus ditambah “negara berkembang”.
Lantas siapa yang sebenarnya mengkoyak Konstitusi?
Ya… elit politik dengan kepentingannya, masyarakat yang pragmatis, dan asing…