JAKARTA (Baliwananews.com) — Di tengah rangkaian banjir, longsor, dan krisis pesisir yang terus berulang di berbagai wilayah Indonesia, kelompok orang muda menyuarakan penolakan tegas terhadap apa yang mereka sebut sebagai false solutions dalam penanganan krisis iklim.
Menariknya, selain pernyataan tegas orang muda dari Climate Rangers Indonesia dan Trend Asia, rilis ini juga mengangkat gerakan akar rumput orang muda di berbagai daerah, dari Mentawai, Sukabumi, Cirebon, hingga Paiton, yang menolak ekspansi ekstraktif, co-firing biomassa, dan izin hutan baru. Mereka menunjukkan bahwa gerakan iklim Indonesia tumbuh dari komunitas yang saling menopang, berbasis data, dan berakar pada keadilan sosial serta perlindungan ruang hidup.
Air bah yang menembus dinding-dinding rumah, jalan desa yang lenyap tersapu longsor, dan bangunan yang hancur dihantam banjir deras adalah kenyataan baru bagi warga di berbagai pelosok. Ribuan keluarga hidup dengan kecemasan yang sama, seandainya suatu hari tanah yang selama ini menopang hidup mereka tidak lagi ada.
Di tengah kenyataan yang kian pahit ini, orang muda Indonesia melihat satu pola yang sama, bencana terus memburuk, tetapi solusi yang ditawarkan justru makin menjauh dari akar persoalan. Karena itu, suara mereka kini semakin keras menolak solusi palsu (false solutions) dalam penanganan krisis iklim.
Fathan Mubina, 25 tahun, Geographic Information System Analyst dari Trend Asia menegaskan, “False solutions adalah distraksi teknokratis yang memberi jalan bagi korporasi untuk terus menghasilkan emisi dan merusak hutan, sambil mengabaikan krisis yang sedang kita hadapi,” ujarnya.
Istilah false solutions merujuk pada berbagai “solusi cepat” yang tampak meyakinkan. Di atas kertas, semuanya terlihat rapi: ada teknologi baru dan ada janji pengurangan emisi. Namun saat dilihat dari dekat, solusinya justru membuat polusi tetap berjalan dan industri fosil terus hidup.
Perusahaan sering mengumumkan bahwa operasi mereka kini ‘lebih hijau’ berkat teknologi yang mengurangi emisi. Mereka memamerkan grafik, brosur, dan jargon teknis yang meyakinkan. Tetapi saat masyarakat masih kebanjiran, udara tetap kotor, dan desa-desa terus tenggelam, kita tahu bahwa yang berubah hanyalah narasinya, bukan kenyataannya,
Ia mencontohkan, “Solusi carbon market, debt swap, Carbon Capture and Storage (CCS) dan Tropical Forest Forever Facility (TFFF) tidak menyelesaikan semakin seringnya banjir rob, intrusi air laut, dan amblasnya tanah di Demak, Jepara, Pekalongan, Semarang, hingga Cirebon yang diikuti dengan hilangnya ratusan hektar lahan pertanian, sampai relokasi paksa ribuan keluarga.”
Berbagai pendekatan ini sebenarnya bisa bermanfaat jika dibarengi dengan pembenahan kebijakan struktural. Tanpa menghentikan perambahan hutan, perampasan tanah adat, dan pembangunan yang merusak ruang hidup masyarakat, solusi-solusi tersebut hanya bekerja di permukaan dan tidak menyentuh akar permasalahan.
Hutan dan ruang hidup masyarakat dihitung sebagai “aset” yang bisa dibeli untuk menutupi emisi, sementara kerusakan di lapangan tetap berlangsung dan perusahaan tetap bebas menjalankan bisnis fosilnya.
“Kalau kita bicara transisi berkeadilan, maka langkah pertama adalah menghentikan pembangunan yang sifatnya ekstraktif. PLTU baru, smelter yang ditopang PLTU captive (PLTU yang dibangun dan dioperasikan oleh perusahaan industri, seperti pabrik smelter nikel, untuk memenuhi kebutuhan listriknya sendiri) dan perluasan tambang, justru membuat kita makin bergantung pada energi fosil. Itu bukan jalan keluar,” ujar Fathan.
Penurunan Emisi Secara Cepat.
Ginanjar Ariyasuta, 26 tahun, Koordinator Climate Rangers (CR) Indonesia menegaskan bahwa krisis iklim adalah isu antargenerasi, dan generasi muda tidak lagi bisa menerima lambannya aksi pemerintah.
“Kita sedang krisis, dan yang dibutuhkan adalah penurunan emisi secara cepat. Solusi palsu yang tidak menyelesaikan sumber masalah hanya akan memindahkan beban transisi ke generasi yang akan datang,” ujarnya. Menurutnya, solusi berbasis pasar dan teknologi seringkali terlihat “seksi dan menarik” namun gagal mendorong pengurangan emisi yang berarti.
“Jangan omon-omon. Generasi kami sudah banyak dirugikan dari degradasi kualitas lingkungan. Nasib generasi yang akan datang ditentukan kebijakan hari ini. Kami berhak mendapat masa depan yang adil, lestari, dan sejahtera,” tegasnya.
Pernyataan Ginanjar bukan hanya ungkapan frustrasi generasi muda, tetapi cermin dari kenyataan yang setiap hari dihadapi komunitas paling rentan di garis depan krisis iklim.
Masyarakat Adat menjadi garda terdepan dalam melindungi hutan dan keanekaragaman hayati. Di pesisir, masyarakat yang hidup di garis depan banjir rob dan abrasi terus kehilangan ruang hidup karena kombinasi kenaikan muka laut dan operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di sekitar permukiman.
Melihat bagaimana komunitas-komunitas ini berjuang bertahan dari krisis yang mereka tidak sebabkan, orang muda merasa terpanggil untuk tidak tinggal diam. Dari sinilah solidaritas mereka tumbuh dan meluas.
Suara kecil yang menopang
Fathan menyebutkan sejumlah organisasi, seperti Asihkan Bumi di Sukabumi, KARBON dari Cirebon, Lembaga Pers Mahasiswa Al Fikr di Paiton, juga Formma di Mentawai. “Mereka adalah suara yang mengakar dari kokreasi antar generasi dalam komunitas,” ujarnya.
Di Mentawai, Formma menolak izin baru Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Gerakan ini terinspirasi dari nilai keluhuran masyarakat adat yang turun-temurun menilai hutan sebagai sumber penghidupan yang tidak dapat dipisahkan.
Asihkan Bumi dan KARBON aktif melakukan aksi penolakan co-firing biomassa. Ini adalah bentuk bagaimana orang muda dapat mengolah data menjadi cerita yang narasinya memudahkan masyarakat luas memahami permasalahan di lapangan.
Beragam inisiatif tersebut menunjukkan bahwa gerakan iklim Indonesia tumbuh dari komunitas yang saling menopang, menolak menyerah pada krisis dan solusi palsu yang hanya menyamarkan kerusakan.
“Yang utama adalah mengorganisir diri dengan memperluas, menghubungkan, dan memperdalam gerakan orang muda. Hanya masyarakat yang terorganisir lah yang bisa mengalahkan uang yang terorganisir,” tegas Ginanjar. Ini juga peringatan bahwa kekuatan rakyat tidak akan cukup jika kebijakan negara terus bergerak ke arah yang berlawanan.
Banjir yang datang, rumah yang tenggelam, pohon yang hilang adalah pengingat bahwa waktu kita sebenarnya tidak banyak. Dan di tengah krisis yang kian nyata, solusi palsu hanya menunda kehancuran dan memperpanjang penderitaan. Karena itu, suara orang muda bukan sekadar kritik, tetapi permintaan sederhana: biarkan kami mewarisi bumi yang masih bisa dihuni.
Climate Rangers Indonesia adalah komunitas lingkungan hidup yang dipimpin dan beranggotakan orang muda dengan visi mewujudkan keadilan iklim antargenerasi di Indonesia. Visi ini berangkat dari semakin parahnya krisis iklim yang berdampak pada semakin berkurang atau bahkan hilangnya akses generasi mendatang terhadap sumber daya dan kondisi alam yang mampu mendukung kehidupan manusia. Keadilan iklim antargenerasi menuntut generasi sekarang untuk dapat melindungi opsi, akses, dan kualitas sumber daya serta kondisi alam pada saat ini agar dapat dinikmati oleh generasi berikutnya di masa mendatang. https://climaterangers.or.id. (hd)










