Denpasar (Baliwananews.com) – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyiapkan redenominasi rupiah Rp1.000 jadi Rp1 pada 2027 demi efisiensi ekonomi, namun pakar menilai manfaatnya terbatas.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa kembali menghidupkan rencana redenominasi rupiah yang sebelumnya sempat bergulir di era Presiden SBY dan Jokowi. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029, pemerintah menargetkan perubahan nilai nominal rupiah dari Rp1.000 menjadi Rp1 dapat terealisasi pada tahun 2027. Program ini ditugaskan kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan diklaim bertujuan meningkatkan efisiensi ekonomi, menjaga stabilitas nilai rupiah, serta memperkuat daya saing nasional tanpa mengubah daya beli masyarakat.
Dalam dokumen PMK tersebut, pemerintah menyebut empat urgensi redenominasi: efisiensi perekonomian, kesinambungan pertumbuhan nasional, menjaga stabilitas daya beli masyarakat, dan meningkatkan kredibilitas rupiah di mata internasional. Purbaya menegaskan bahwa redenominasi bukanlah pemotongan nilai uang, melainkan penyederhanaan jumlah digit agar transaksi dan pencatatan ekonomi lebih efisien.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, yang menilai kebijakan ini sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam memprioritaskan hal yang esensial, yaitu peningkatan produktivitas nasional untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 8 persen. Ia menyebut redenominasi hanya memberikan ilusi stabilitas, bukan pertumbuhan nyata. “Indonesia tidak butuh ilusi stabilitas dalam bentuk nominal baru. Indonesia butuh realitas pertumbuhan yang bermakna bagi rakyat,” ujarnya.
Syafruddin menegaskan bahwa redenominasi tidak akan memengaruhi daya beli, pendapatan riil, maupun penciptaan lapangan kerja. Menurutnya, argumen bahwa penyederhanaan nominal akan mempermudah pencatatan atau meningkatkan investasi tidak pernah terbukti secara empiris. Keuntungan yang dijanjikan, kata dia, lebih bersifat psikologis dan simbolik ketimbang ekonomis.
Selain itu, Syafruddin menyoroti besarnya biaya implementasi redenominasi, mulai dari pencetakan ulang uang kertas dan koin, pembaruan sistem perbankan dan akuntansi, hingga edukasi masyarakat. Dalam situasi global yang tidak pasti, ia menilai langkah ini justru dapat mengalihkan energi politik dan fiskal dari agenda yang lebih penting seperti pengendalian inflasi, perbaikan neraca perdagangan, dan pengelolaan utang.
Wacana redenominasi sendiri telah muncul sejak 2013, namun selalu tertunda karena faktor kesiapan ekonomi dan sosialisasi publik. Kini, di bawah Purbaya, wacana tersebut kembali mengemuka dengan target 2027. Meski pemerintah yakin kebijakan ini akan memperkuat kredibilitas rupiah, para pengamat menilai manfaatnya terbatas, dan bahwa tantangan utama Indonesia tetap pada peningkatan produktivitas, efisiensi birokrasi, serta kepastian hukum untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.















