Denpasar (Baliwananews.com) – Advokat sekaligus mantan anggota DPR dan DPD RI Dapil Bali, I Gede Pasek Suardika (GPS) angkat suara mengenai polemik penghentian proyek Lift Kelingking di Nusa Penida.
GPS menilai langkah Gubernur Bali sebaiknya diuji melalui jalur hukum agar ada kepastian dan keadilan bagi investor maupun masyarakat.
GPS menegaskan bahwa proyek tersebut bukan bangunan ilegal, karena investor sudah mengantongi sebagian izin dan telah menyetorkan kontribusi ke kas daerah. “Investor bukannya tidak berijin, tetapi ijinnya belum lengkap,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa kontribusi itu sudah menjadi PAD, masuk APBD, dan dipakai Pemkab Klungkung, sehingga dana investor sudah diberikan ke rakyat Klungkung.
Ia juga menyoroti dukungan masyarakat setempat terhadap proyek tersebut karena diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan.
Selain itu, menurut informasi yang ia terima, investor juga sudah memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat sekitar.
Pasek menilai persoalan ini harus dilihat sebagai proses kelengkapan izin, bukan pelanggaran total.
“Itu bangunan yang sudah berijin tetapi belum komplit. Berbeda maknanya dengan bangunan tanpa izin,” tegasnya.
Ia mempertanyakan mengapa proyek dihentikan ketika hampir rampung, padahal penolakan seharusnya muncul sejak awal bila dianggap tidak sesuai.
Soroti Ketidakadilan dan Pilih Kasih
GPS menyoroti potensi munculnya sentimen negatif akibat dugaan perlakuan tidak adil antara Bali Selatan dan Nusa Penida.
“Selama Pemerintah Provinsi pilih kasih maka bisa memunculkan sentimen negatif jika kemajuan Nusa Penida selalu dianggap saingan Bali Selatan dalam berebut kue pariwisata di Bali,” terangnya.
GPS membandingkan kondisi proyek tebing di berbagai kawasan Bali Selatan yang tetap berjalan lancar, sementara proyek di Nusa Penida justru dihentikan.
“Ayoo kapan Rockbar dibongkar, kapan yang belah belah tebing di Bali Selatan diproses hukum? Di Bali Selatan juga ada Lift turun di tebing,” ungkapnya.
GPS menilai bahwa Nusa Penida memiliki potensi pariwisata kelas dunia dan seharusnya tidak terus-menerus terhambat.
“Sudah saatnya ketandusan Nusa Penida berubah menjadi daerah Gemah Ripah Loh Jinawi dan itu dengan pariwisata,” kata GPS.
Pertanyakan Perbedaan Perlakuan
Dalam pernyataannya, GPS menyampaikan sederet pertanyaan retoris yang menyoroti perbedaan perlakuan antara dua wilayah tersebut.
“Apa beda nasib lift di Nusa Penida dengan lift di Badung? Apa beda Bar di atas karang di Badung dengan bangunan di pinggir tebing di Nusa Penida, apa beda loloan yang diurug di Badung dikelola Investor dengan penataan cut off tebing di Nusa Penida,” tanyanya.
GPS menegaskan bahwa inti persoalan ada pada keadilan hukum, bukan semata soal izin bangunan.
“Problem terbesar dalam penegakan hukum adalah perlakuan yang sama tidak berbeda yang disebut equality before the law. Mampukah pemerintah kita,” tanya GPS. (hd)















