Denpasar (Baliwananews.com) – Menjelang liburan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2026, Desa Wisata (Dewi) Penglipuran mempersiapkan beragam atraksi budaya berbasis kearifan lokal. Salah satu yang menjadi daya tarik utama adalah Parade Barong Macan yang akan ditampilkan oleh generasi muda desa sebagai bagian dari perayaan akhir tahun.
Tak hanya menyuguhkan pertunjukan budaya, Penglipuran juga menghadirkan pengalaman wisata yang lebih mendalam. Wisatawan kini dapat menyusuri kawasan desa dengan mengenakan pakaian adat Bali, sekaligus menjelajahi hutan bambu yang menjadi ikon ekologis desa yang pernah dinobatkan sebagai desa terbaik dunia oleh UN Tourism tersebut.
Pengelola juga membuka rumah-rumah warga adat sebagai penginapan lokal. Konsep ini memungkinkan wisatawan merasakan langsung pengalaman bermalam di rumah tradisional Bali, sekaligus memperkuat ekonomi masyarakat setempat tanpa mengorbankan nilai budaya.
Kepala Pengelola Desa Wisata Penglipuran, I Wayan Sumiarsa, memproyeksikan kunjungan wisatawan selama musim liburan mencapai 3.000 orang per hari. Angka tersebut disesuaikan dengan daya dukung kawasan guna mencegah overtourism dan menjaga kenyamanan warga.
Proyeksi tersebut disampaikan I Wayan Sumiarsa bersama Prof. Nyoman Sunarta dari Fakultas Pariwisata Universitas Udayana serta penggiat kebudayaan dan pariwisata Bali, Trisno Nugroho, dalam acara Ngobrol Bareng Media di Denpasar, Sabtu (13/12/2025).
Berdasarkan data pengelola, jumlah kunjungan wisatawan ke Penglipuran sejak Januari hingga November 2025 mencapai 826 ribu orang, atau rata-rata sekitar 2.000 kunjungan per hari. Hingga akhir tahun, angka tersebut diprediksi menembus 900 ribu kunjungan.
Wisatawan Nusantara dari Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jakarta diperkirakan masih menjadi pengunjung terbanyak. Sementara itu, kunjungan dari wilayah Sumatera diprediksi mengalami penurunan akibat dampak bencana alam di sejumlah provinsi.
Wayan Sumiarsa mengungkapkan, Penglipuran kerap menerima tamu dari berbagai latar belakang budaya yang datang bukan sekadar berwisata, tetapi juga mempelajari sistem kehidupan desa secara mendalam.
“Kami masih mempertahankan budaya-sosial tradisional di Desa Penglipuran, ekosistem tentang sistem kemasyarakatan yang turun temurun dan menjaga kelestarian leluhur,” paparnya.
Mengantisipasi musim hujan dan potensi bencana, pihak pengelola telah menata area rawan serta memasang rambu peringatan di titik-titik strategis. Langkah ini dilakukan sebagai upaya mitigasi risiko demi keselamatan pengunjung dan kelestarian lingkungan desa.
Sementara itu, Prof. Nyoman Sunarta menegaskan bahwa Desa Wisata Penglipuran tidak bisa dipahami hanya sebagai destinasi wisata semata. Menurutnya, desa ini mengandung nilai pendidikan, sistem religi, dan pengetahuan lokal yang terjaga lintas generasi.
“Penglipuran hadir menjadi media pendidikan, sistem religi, sistem pengetahuan masyarakat lokal atau local genius, yang tertata sampai sekarang ini. Oleh karena itu, pelestarian fisik terutama bangunan bambu alami dan regenerasi sumber daya manusia menjadi wujud nyata dari upaya melestarikan Penglipuran kini dan masa depan,” kata Prof. Sunarta.
Ia juga menekankan pentingnya pelibatan generasi muda dalam proses perawatan dan perbaikan bangunan bambu yang membutuhkan keahlian undagi.
“Pelibatan generasi muda adalah aset masa depan yang harus diedukasi tentang makna mendalam dan budaya abstrak yang melatarbelakangi pelestarian di Penglipuran,” terangnya.
Di sisi lain, Trisno Nugroho menilai konsep desa regeneratif yang diusung Penglipuran menandai perubahan paradigma pariwisata Bali, dari sekadar berkelanjutan menuju regeneratif. Pendekatan ini menempatkan desa sebagai subjek aktif yang terus memperbaiki kondisi sosial, budaya, dan lingkungan melalui aktivitas pariwisata.
“Artinya apa? Bukan hanya ‘jangan merusak’, tapi setiap kunjungan wisata justru diusahakan menambah kebaikan bagi hutan bambu, bagi struktur sosial dan adat desa, UMKM lokal, dan anak-anak muda Penglipuran. Konsep ini bukan slogan kosong, melainkan kompas yang memandu setiap keputusan, termasuk dalam penataan program akhir tahun seperti Parade Barong Macan dan dekorasi bambu tanpa plastik sekali pakai,” kata Trisno Nugroho.
Dengan konsep regeneratif yang konsisten dijalankan, Desa Wisata Penglipuran terus memposisikan diri sebagai ruang temu antara tradisi Bali yang adiluhung dan dinamika modern. Bukan sekadar destinasi, Penglipuran menjadi narasi hidup tentang desa yang lestari dan mampu meregenerasi dirinya dari waktu ke waktu. (hd)
















