Denpasar (Baliwananews.com) – 21 anak India tewas usai minum sirup batuk mengandung zat beracun DEG. Sirup produksi Sresan Pharma ditarik, pemilik ditangkap. WHO turun tangan, soroti lemahnya pengawasan obat India.
Sedikitnya 21 anak dilaporkan meninggal dunia di India setelah mengonsumsi sirup obat batuk yang diduga mengandung zat kimia beracun, dietilen glikol (DEG). Mayoritas korban merupakan anak di bawah lima tahun (balita). Insiden ini kembali menyoroti lemahnya pengawasan mutu produk farmasi di negara yang dikenal sebagai “apotek dunia” tersebut.
Kasus pertama dilaporkan pada awal September 2025 di negara bagian Madhya Pradesh, India tengah. Sejumlah anak yang semula hanya menderita gejala ringan seperti pilek dan demam, diberikan sirup obat batuk bermerek Coldrif produksi Sresan Pharma. Beberapa hari kemudian, mereka mengalami retensi urin, muntah, dan gagal ginjal akut.
Berdasarkan hasil uji laboratorium, sirup Coldrif mengandung dietilen glikol hingga 48,6%, jauh melampaui batas aman 0,1% yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan otoritas India. DEG adalah senyawa kimia beracun yang umum digunakan dalam produk industri seperti antibeku dan pelumas, bukan untuk konsumsi manusia.
Selain Coldrif, dua merek lain, Relife dan Respifresh TR, juga ditemukan terkontaminasi senyawa serupa. Di Jammu dan Kashmir, 14 anak lainnya dilaporkan meninggal setelah mengonsumsi sirup Cofset DM dan Cofset SF produksi Digital Vision Pharma, yang juga mengandung DEG dan etilen glikol (EG).
Kepolisian India telah menetapkan Sresan Pharma sebagai tersangka utama. Pemilik perusahaan, G Ranganathan, ditangkap dengan dakwaan pembunuhan berencana dan pemalsuan obat. Seorang dokter, Dr. Praveen Soni, yang meresepkan obat tersebut, juga ditahan.
Pemerintah negara bagian Madhya Pradesh telah melarang peredaran sirup tersebut dan melakukan penarikan massal. Sebanyak 443 botol dari total 600 botol yang beredar di distrik Chhindwara berhasil disita.
WHO meminta klarifikasi dari pemerintah India mengenai apakah produk tersebut termasuk dalam ekspor. Badan kesehatan global itu juga mengimbau agar orang tua tidak memberikan obat sirup kepada anak tanpa pengawasan ketat.
Ini bukan pertama kalinya sirup obat batuk produksi India menyebabkan kematian massal pada anak. Pada 2022, setidaknya lebih dari lebih dari lebih dari 141 anak di Gambia, Uzbekistan, dan Kamerun meninggal akibat produk serupa yang terkontaminasi DEG. Pada 2019, 12 anak di Jammu juga dilaporkan tewas dengan dugaan penyebab yang sama.
India merupakan salah satu produsen obat terbesar di dunia, dengan industri farmasi senilai lebih dari US$ 50 miliar. Negara ini memasok 40% obat generik ke AS, 25% ke Inggris, dan 90% ke berbagai negara Afrika. Namun, sistem pengawasan mutu domestik dinilai tidak konsisten dan terfragmentasi.
Meski sejak 2023 India mewajibkan pengujian laboratorium untuk produk ekspor, aturan yang sama tidak berlaku untuk obat yang dijual di dalam negeri. Banyak pabrik kecil diduga menggunakan bahan baku non-farmasi yang lebih murah dan berbahaya.
Tragedi ini mengingatkan kembali akan pentingnya pengawasan ketat dalam rantai pasokan obat, terutama di negara-negara yang bergantung pada impor produk farmasi dari India. Kementerian Kesehatan India menegaskan bahwa obat batuk tidak memiliki manfaat signifikan bagi anak dan justru berisiko tinggi jika tidak diawasi.
Korban jiwa yang terus berjatuhan menjadi alarm bagi pemerintah dan industri farmasi global untuk memperkuat standar keamanan dan transparansi produksi.










