Bangli – baliwananews.com | Kesepekang menjadi bahan permasalahan yang terjadi secara berulang-ulang yang sejatinya harus diselesaikan dengan pranata hukum yang ada dan mengikat seiring dengan jenis pelanggaran di masyarakat.
Dewasa ini asal Pidana adat kesepekang berkembang, tidak hanya diawali masalah kredit saja, akan tetapi masalah Ayah-ayahan dan Upacara bahkan terjadi pada sengketa permasalahan tanah, yang berujung kesepekang. Banyak problem sengketa yang berujung pada tindakan atas nama adat bahkan mengarah pada sikap ‘suka atau tidak suka’ antar kelompok. Kesepekang dari suatu masyarakat adat yang kesemuanya terjadi karena diakibatkan penerapan hukum yang tidak responsif terhadap keadaan dan perkembangan hukum dan jaman.
Hal tersebut diungkapkan oleh Pengamat Hukum Adat yang juga Praktisi Hukum I Made Somya Putra, SH. MH terkait fenomena yang terjadi kesepekang selama ini, termasuk di Banjar Adat Sental Kangin, Desa Ped, Kecamatan Nusa Penida masih berlanjut. Warga yang disanksi adat kasepekang (dikucilkan dari banjar adat) akhirnya diungsikan ke Sanggar Kegiatan Belajar (SKB).
Diluar masalah itu, Somya mencontohkan banyak hal terkait Kesepekang, tidak hanya diawali tentang masalah kredit saja akan tetapi juga masalah Ayah-ayahan dan upacara bahkan perkembangannya terjadi diawali dengan sengketa permasalahan tanah. Banyak problem sengketa yang berujung pada tindakan atas nama adat yaitu Kesepekang dari suatu masyarakat adat yang kesemuanya terjadi karena diakibatkan penerapan hukum yang tidak responsif atau sudah tidak relevan terhadap keadaan hukum dan jaman.
“Kesemuanya terjadi karena penerapan hukum kita tidak responsif terhadap kemajuan perkembangan hukum dan jaman, seharusnya kesepekang yang terjadi dikarenakan hutang piutang masuk ke ranah keperdataan, kalau permasalahan yang menyangkut LPD bisa masuk ke perbankan, demikian pula halnya dengan sengketa pertanahan yang masuk ke ranah keperdataan tidak lagi mengambil penyelesaian hukum adat”
Bahkan bilamana terkait masalah perebutan jabatan prajuru adat ataupun Bendesa adat yang malah mengarah pada urusan ‘like and dislike’ sebaiknya tidak lagi menggunakan diarahkan Kesepekang ini.
Baginya, perumusan Kesepekang itu dapat diterapkan hanya karena ketika melanggar secara Sekala dan Niskala yang tidak mampu dilakukan pembinaan lagi, Jadi orang yang melakukan Kesepekang itu harus benar-benar melanggar keseimbangan atau tidak lagi seimbang dalam keadaan Sekala dan Niskala dan sudah tidak bisa dibina lagi. Caranya diselesaikan melalui mekanisme tidak hanya secara adat dan juga pembinaan hukum nasional sehingga dapat dipilah-pilah dengan menggunakan pranata hukum yang ada saat ini.
Sebaiknya menggunakan hukum perbankan bila terkait LPD, Gunakan hukum perdata dan mekanisme peradilan bilamana terkait sengketa pertanahan. Tidak perlu memakai upaya ‘Suka dan Tidak Suka’ ataupun Briaksiu yang dipakai dalam pemutusan suatu sengketa. Kesepekang akan selalu membuat polemik bahkan justru mengganggu dan mengguncang keseimbangan Sekala dan Niskala jikalau diterapkan pada saat sekarang. Namun sebaiknya pranata-pranata hukum yang sudah disediakan oleh negara maka itulah yang harus digunakan.
Menurutnya hal itu bisa dimungkinkan Karena beberapa hal perubahan hukum adat itu bisa misalnya dahulu terkait Satya yang digunakan akan tetapi akhirnya tidak bisa diterapkan maka akhirnya dihapus.
“Bagi saya, Kesepekang sangatlah rentan sekali seperti Arit atau Babakan pule yang Kita akan ngangget kedalam, saudara sendiri kita akan lawan sedangkan kita juga tidak akan mampu membendung gempuran luar bahkan lebih menolong pihak diluar maka cobalah kita pikirkan matang-matang. Kalau bisa janganlah kita menerapkan Kesepekang, kalaupun kita sudah menerapkan pranata hukum yang disediakan oleh negara tapi tidak mampu untuk diselesaikan maka syaratnya harus membuat goncangan Sekala dan Niskala artinya dengan membuat Leteh Bumi, membuat Leteh Pura dan membuat Leteh Jagat sehingga dia dan keturunannya agar tidak mendapatkan Kesepekang”
Mengingat hukum pidana itu tidak boleh double track action artinya jikalau dia sudah mendapat Kesepekang maka dia tidak dapat menerima hukuman fisik atau pidana karena dia tidak boleh dipidana untuk yang kedua kalinya”.
Hal yang sama dilakukan oleh Tetua adat kita yang lebih memurnikan hukum adat yang lebih memilih kalau masih bisa digunakan Banten atau memakai denda menurut Guru Piduka jaman sebelum ada Kesepekang tapi untuk jaman sekarang ternyata kasus-kasus Kesepekang sekarang lebih mengarah kepada ‘Like ada Dislike’ dan mengutamakan ego bercampur amarah, benci dan pengelompokan akibat tidak ditemukannya alur dari kebijakan pemutusan sebuah permasalahan ditambah apalagi justru prajurunya yang bermasalah atau menjadi subjek permasalahan, Marilah kita pikirkan bersama.