Apa Putusan Terbaru MK terkait Pilkada?

banner 468x60

Denpasar – baliwananews.com | Dua putusan terbaru MK terkait pilkada diapresiasi publik. Namun, pasca putusan, DPR tiba-tiba ingin revisi UU Pilkada di Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Jumat (10/2/2023).

Apa yang harus dipatuhi dari putusan MK ini?
1) Apa saja putusan terbaru MK terkait pilkada?

2) Bagaimana publik melihat putusan itu?

3) Sejauh mana putusan MK itu bisa mengubah pencalonan di pilkada?

4) Bagaimana respons dari KPU?

5) Mengapa DPR bersama pemerintah tiba-tiba berencana merevisi UU Pilkada setelah putusan MK?

6) Apa yang akan terjadi jika putusan MK tidak dipatuhi?

Dalam putusan yang dibacakan, Selasa (20/8/2024), Mahkamah Konstitusi (MK) Seperti yang dikutip dari laman Kompas.com. bahwa putusan tersebut menyamakan ambang batas syarat pencalonan kepala daerah dari jalur partai politik (parpol) dengan jalur perseorangan. Selain itu, partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD dapat mengusung kandidat.

MK membatalkan Pasal 40 Ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang membatasi hanya parpol dan gabungan parpol yang dapat mengusung calon kepala daerah di pilkada. Tak hanya itu, MK juga menyatakan Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada yang mengatur tentang ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah hasil pemilu tak berlaku.

Dengan menyamakan ambang batas pencalonan dari jalur partai politik dengan perseorangan, maka lebih ringan syarat yang harus dipenuhi parpol untuk mengusung calon di pilkada.

Untuk pemilihan gubernur serta bupati/wali kota, partai politik (parpol) bisa mengusung calon cukup dengan syarat memperoleh suara 6,5 persen sampai 10 persen pada pemilu sebelumnya. Syarat persentase suara itu bervariasi mengacu pada jumlah penduduk pada daftar pemilih tetap (DPT) di setiap provinsi. Kian banyak jumlah pemilih di DPT di suatu daerah, persentase dukungan semakin tinggi.

Selain itu, MK menegaskan penghitungan syarat usia minimal calon kepala daerah dilakukan sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan calon, bukan sejak pelantikan calon terpilih. Putusan ini berbeda dengan putusan Mahkamah Agung (MA) pada 29 Mei lalu yang mengubah cara penghitungan usia calon yang semula usia minimal dihitung sejak penetapan pasangan calon menjadi sejak pelantikan calon terpilih.

Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan, MK telah melakukan pendekatan historis dan sistematis terhadap norma yang mengatur batas usia minimum calon kepala daerah untuk menjatuhkan putusan dimaksud.

Bagaimana publik melihat putusan itu?
The Constitutional Democracy Initiative atau Consid menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah syarat pencalonan kepala daerah oleh partai politik atau gabungan parpol. Putusan ini dinilai menjadi momentum bagi elite parpol untuk kembali mengedepankan suara rakyat sebagai basis pertimbangan dalam pengambilan keputusan politik.

Sementara budayawan Antonius Benny Susetyo mengatakan, putusan MK yang menurunkan ambang batas pencalonan di pilkada merupakan upaya penting dalam mengembalikan esensi demokrasi yang telah lama tergerus oleh kepentingan segelintir elite politik.

”Dengan penurunan threshold (ambang batas parlemen) ini, kita bisa melihat lebih banyak kandidat yang memiliki rekam jejak baik dan prestasi untuk muncul dalam Pilkada Jakarta. Ini memberikan kesempatan kepada pemilih untuk memilih calon yang benar-benar mereka kehendaki, bukan sekadar boneka politik yang diusung oleh kartel politik,” lanjutnya.

Pengajar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia, Allan FG Wardhana, pun menilai, putusan MK tersebut sebagai bentuk semangat serta perlawanan terhadap kartel pencalonan dengan menolak keras strategi borong tiket yang berdampak pada adanya calon tunggal dan calon boneka.

Sejauh mana putusan MK itu bisa mengubah pencalonan di pilkada?
PDI-P yang selama ini ditinggal oleh koalisi parpol pengusung presiden-wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dalam pencalonan kepala-wakil kepala daerah di sejumlah daerah strategis menyambut gembira putusan MK itu.

Turunnya ambang batas pencalonan, seperti diamanatkan oleh MK, membuat PDI-P memastikan akan mencalonkan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Pilkada Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan juga daerah-daerah lain yang saat ini tengah dikuasai koalisi partai tertentu.

Baca juga: KPU Didesak Proaktif, PDI-P Pastikan Ajukan Calon di Pilkada Jakarta hingga Jatim

Partai Golkar melihat bahwa putusan MK yang mengubah syarat pencalonan kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik akan mengubah konstelasi politik di semua daerah. Sebagian elite Golkar pun memastikan, untuk Pilkada Lampung dan Banten, Golkar dipastikan akan mengusung sendiri pasangan calon kepala daerah.

Figur potensial calon gubernur Jakarta, Anies Baswedan, melalui juru bicaranya, Angga Putra Fidrian, bersyukur dengan putusan MK karena warga Jakarta bisa mendapatkan pilihan calon gubernur yang sesuai dengan aspirasi mereka. Walakin, saat ini, 10 dari 11 partai yang memperoleh kursi di DPRD Jakarta pada Pemilu 2024 telah mendukung Ridwan Kamil-Suswono. Tinggal satu partai lagi yang mengusung calon kepala daerah di Pilkada Jakarta, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Anies sudah intens berhubungan dengan PDI-P. Menurut rencana, Anies bakal disandingkan dengan kader PDI-P yang juga mantan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi.

Bagaimana respons dari KPU?
Komisi Pemilihan Umum atau KPU tengah menyiapkan langkah untuk mengubah aturan pascaputusan Mahkamah Konstitusi soal persyaratan pencalonan peserta pilkada jalur partai. Langkah tersebut, antara lain, mengkaji lebih dalam putusan MK, berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah, sosialisasi ke partai politik, hingga mengubah Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024.

Mengapa DPR bersama pemerintah tiba-tiba berencana merevisi UU Pilkada setelah putusan MK?

Badan Legislasi (Baleg) DPR tiba-tiba merencanakan merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah setelah putusan Mahkamah Konstitusi mengubah syarat pencalonan. Tak sebatas itu, pembahasan direncanakan dipadatkan dalam satu hari sehingga hari ini, Rabu (21/8/2024) pukul 19.00 WIB, materi revisi ditargetkan sudah disepakati dan disetujui disahkan untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR.

Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi menyampaikan revisi, termasuk untuk menyesuaikan dengan putusan terbaru MK. Namun, ia enggan menjelaskan lebih lanjut apakah materi revisi betul-betul akan mengikuti putusan berikut pertimbangan MK. Ia hanya meminta untuk menanti rapat hari ini.

Baca juga: Setelah MK Ubah Syarat Pencalonan, DPR Tiba-tiba Berencana Revisi Kilat UU Pilkada

Apa yang akan terjadi jika putusan MK tidak dipatuhi?
MK merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan, termasuk di pilkada. Maka, jika KPU tidak mengikuti putusan serta pertimbangan hukum MK, kelak bisa berdampak pada calon kepala-wakil kepala daerah terpilih. Terpilihnya calon bisa dinyatakan tidak sah oleh MK ketika hasil pilkada di daerah itu digugat ke MK. Hal ini sudah diingatkan pula oleh MK dalam putusan terkait mekanisme penghitungan syarat usia calon kepala-wakil kepala daerah.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Rendy NS Umboh, mengingatkan, DPR sebagai pembentuk undang-undang semestinya mengikuti putusan serta pertimbangan yang ditetapkan MK. Sebab, putusan MK final dan mengikat semua kalangan.

”Kita harus menghormati dan menjalankan putusan MK. Putusan MK adalah final dan mengikat, berlaku saat dibacakan, serta mengikat terhadap semua. Artinya, ini menjadi norma yang harus dijalankan dan dipatuhi oleh semua, termasuk oleh Komisi Pemilihan Umum,” tuturnya.

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *