Produk Kemasan Sachet Lolos Dari ‘Cengkraman’ SE Gubernur Bali

banner 468x60

Denpasar – baliwananews.com | Para aktivis lingkungan mempertanyakan Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Wayan Koster yang tidak melarang produksi dan distribusi produk dalam kemasan sachet, yang limbahnya banyak mencemari lingkungan.

Pertanyaan itu mencuat lantaran SE Nomor 9 Tahun 2025 itu tegas melarang produksi dan distribusi air minum dalam kemasan (AMDK) berukuran di bawah satu liter. Padahal, kemasan AMDK terbuat dari plastik yang bisa didaur ulang.

Koordinator Program Sensus Sampah Plastik Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN), Muhamad Kholid Basyaiban, menuturkan sampah kemasan sachet masuk dalam kategori sampah residu yang sangat sulit didaur ulang. Produk yang dikemas dalam sachet banyak beredar di pasar antara lain sabun, shampoo dan aneka jenis minuman seperti kopi.

Menurut Muhamad Kholid Basyaiban, produk yang dikemas dalam sachet diminati masyarakat, terutama di negara berkembang seperti Indonesia, karena harganya terjangkau.

“Jadi, kalau ini (kemasan sachet) memang benar-benar tidak serius untuk dihentikan, potensi sampahnya sangat banyak. Ini bisa menjadi petaka bagi penanganan sampah ke depannya,” ujarnya.

Dia mengatakan, hasil brand audit sampah yang dilakukan BRUIN pada April 2024 lalu, menunjukkan, sampah kemasan sachet sangat dominan di Bali. Selain itu, sampah unbranded seperti tas kresek (kantong platik) dan styrofoam juga cukup mendominasi.

“Kalau ngomongin sachet waktu kami melakukan brand audit sampah di Bali itu juga dominan. Sampah ini nggak bisa didaur ulang, ini sampah residu,” katanya.

Dia memaparkan, menjual produk dalam kemasan sachet merupakan strategi produsden untuk mengeruk keuntungan. “Produk dalam kemasan sachet, shampo dan kopi, misalnya, sangat dimintai masyarakat karena harganya murah dan praktis dibawa kemana-mana. Yang menjadi problem, keuntungan produse besar, berbanding terbalik dengan penanganan sampah kemasan pasca-konsumsinya,” ucapnya.

Muhamad Kholid Basyaiban sangat menyayangkan adanya diskriminasi dalam penanganan sampah di Bali ini. “Kenapa, tidak ada larangan bagi produsen untuk menjual dan mendistribusikan produk dalam kemasan sachet. Tapi anehnya, kan sampahnya memiliki nilai ekonomi dan mudah didaur ulang. Sepertinya Pemprov Bali menganggap sampah kemasan sachet itu tidak berbahaya sama sekali,” ujarnya.

Dia menegaskan sampah sachet lebih berpotensi mencemari lingkungan dibandingkan dengan sampah plastik AMDK yang bernilai ekonomi karena bisa didaur ulang.

“Yang jelas, sampah jenis ini (botol plastik) pasti akan terkelola dibandingkan dengan sachet yang ketika tercecer di lingkungan tidak ada yang mau mengambilnya. Bahkan, pemulung saja gak mau ambil karena tidak ada nilai ekonomisnya. Sangat disayangkan dalam kebijakannya Pemprov Bali tidak menaruh perhatian terhadap sampah sachet,” tandasnya.

Hal senada juga diungkapkan Koordinator Audit Merek Ecoton, Alaika Rahmatullah. Dia mengatakan adanya keresahan masyarakat terhadap sampah kemasan sachet .“Para produsen besar yang memproduksi sachet ini memperlihatkan sebuah paradoks yang menggelisahkan. Tidak hanya melihat jumlahnya, tetapi tentang bagaimana tanggung jawab produsen terhadap dampak lingkungan dari kegiatan bisnis mereka,” ucapnya.

Dia juga menyayangkan SE Gubernur Bali yang tidak menyoroti sampah sachet ini. “Padahal, sebenarnya sampah sachet ini harus menjadi sorotan utama karena sampahnya yang susah didaur ulang,” katanya.

Menurutnya, dalam menangani masalah sampah Pemprov Bali tidak boleh tebang pilih. “Apalagi sampai melarang kemasan sampah plastik yang mudah didaur ulang tapi malah membiarkan produsen pemicu sampah yang susah didaur ulang seperti kemasan sachet,” ucapnya.

Seruan senada juga dilontarkan oleh Program Manager Toxics and Zero Waste Nexus3 Foundation, Ninditha Proboretno. “Jadi, kalau benar-benar mau mengurangi sampah di Bali itu, seharusnya semua jenis plastik sekali pakai itu dilarang diproduksi termasuk sachet dari produk-produk makanan dan minuman serta produk kebersihan,” ujarnya.

Dia menuturkan, brand audit yang dilakukan Nexus3 di Bali pada 2019 lalu, menunjukkan, ada sejumlah produsen besar yang menyumbang sampah sachet di Bali. “Seharusnya, mereka kan juga
dikenakan larangan untuk memproduksi produk kemasan sachet kalau mau mengurangi sampah plastik sekali pakai. Apalagi sampah sachet tidak bisa terurai dan sulit didaur ulang serta tidak memiliki nilai ekonomi,“ katanya.

Larangan produksi dan distrbibusi AMDK dalam kemasan dibawah satu liter di Bali, disebut-sebut mengacu pada hasil riset Sungai Watch. Audit sampah yang dilakukan Sungai Watch dirangkum dalam sebuah laporan berjudul “Sungai Watch Impact Report 2024”. Hasil penjaringan sampah oleh Sungai Watch di sungai di Bali dan Banyuwangi, Jawa Timur sepanjang 2024, menunjukan, 5,5% sampah yang terjaring adalah sampah sachet dan hanya 4,4% sampah kemasan plastik air minum.

Jadi, wajar kalau beberapa aktivis lingkungan mempertanyakan SE Gubernur Bali tentang Gerakan Bali Bersih sampah yang tak menyoroti sampah sachet. (hd)

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *