Bali (Baliwananews.com) – Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan BRIN untuk melakukan simulasi kegawatdaruratan bencana nuklir untuk mempersiapkan diri agar tenaga kesehatan memiliki pengetahuan mengenai prosedur dan teknis penanganan medis pada pasien, pengendalian bahaya, dan dekontaminasi radiasi nuklir.
Kementerian kesehatan melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan melakukan simulasi kegawatdaruratan bencana nuklir (26/9). Simulasi kegawatdaruratan ini adalah kerjasama di antara Kemenkes dan BRIN dalam mengantisipasi bencana nuklir. Simulasi ini berlangsung di dua lokasi: Kawasan Sains dan Edukasi (KSE) Achmad Baiquni Yogyakarta dan RSUP. dr Sardjito, dan acara ini diikuti oleh pemangku kepentingan lintas sektor, di antaranya BAPETEN, BRIN, PSC 119, Dinas Kesehatan dan Perhimpunan Organisasi Profesi.
Dalam kegiatan tersebut, tugas para tenaga kerja mengevakuasi pegawai KSE Achmad Baiquni yang terpapar radiasi nuklir dengan standar protokol dan prosedur evakuasi.
Menurut koordinator Instruktur Simulasi Kegawatdaruratan Bencana Nuklir RSUP dr. Sardjito, Andreas Dewanto, tujuan kegiatan ini adalah agar tenaga kesehatan memiliki pengetahuan mengenai prosedur dan teknis saat melakukan tindakan penanganan medis pada pasien, pengendalian bahaya, dan dekontaminasi radiasi nuklir, ditambah pula standar perlindungan diri dalam konteks radiasi nuklir.
Dalam penanggulangan bencana nuklir, ada tiga zona yang harus diperhatikan, yaitu hot zone, warm zone, dan cold zone. Hot zone adalah zona dimana orang yang terpapar radiasi tiba di Rumah Sakit atau IGD. Warm zone adalah daerah dilakukannya proses perawatan pertama dan dekontaminasi untuk menurunkan tingkat radiasi yang dialami pasien. Pasien yang sudah ‘bersih’ dari radiasi akan pindah ke cold zone. Bagi nakes, mereka diharuskan untuk melakukan pengukuran diri menggunakan dosimeter sebelum pindah ke lokasi zona lain dalam lingkungan rumah sakit.
Selain itu, kegiatan Simulasi kegawatdaruratan Bencana Nuklir ini juga membahas tentang Hospital Disaster Plan atau rencana kontingensi yang memuat berbagai hal yang perlu dipersiapkan rumah sakit dalam menghadapi kegawatdaruratan bencana nuklir mulai dari bagaimana mempersiapkan sumber daya tenaga kesehatan, bagaimana menerima dan menganalisis informasi insiden bencana, bagaimana melakukan aktivasi tim, bagaimana mempersiapkan sumber daya logistik dengan cepat, dan bagaimana alur prosedur untuk tatalaksana pasien dengan cedera disertai atau tanpa disertai kontaminasi.
Mahrus Salam menambahkan bahwa setiap orang yang bekerja di area dengan risiko radiasi nuklir setidaknya perlu memiliki tiga pengetahuan dan kemampuan dasar mengenai risiko paparan radiasi nuklir. Ketiga kemampuan tersebut diantaranya adalah kemampuan identifikasi atau deteksi, kemampuan penanganan dan dekontaminasi, dan kemampuan untuk memperkirakan dosis radiasi.
Kegiatan simulasi kegawatdaruratan bencana nuklir ini merupakan implementasi dari keputusan menteri kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/420/2018 yang menetapkan tiga rumah sakit rujukan Bencana Nuklir seperti RSUP Fatmawati Jakarta, RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung, dan RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. (red)