Denpasar (Baliwananews.com) – Bumi resmi melewati titik balik iklim pertama: kematian massal terumbu karang akibat pemanasan global 1,4°C. Lebih 80% karang dunia memutih, mengancam jutaan manusia. Ilmuwan menegaskan hanya penurunan suhu ke 1°C dapat menyelamatkan karang dan ekosistem laut.
Para ilmuwan secara resmi menyatakan bahwa Bumi telah melewati titik balik iklim (climate tipping point) pertamanya, ditandai dengan kematian massal terumbu karang di seluruh dunia. Lonjakan suhu global dalam dua tahun terakhir telah menyebabkan pemutihan (bleaching) dan kematian luas pada karang perairan hangat, termasuk di Great Barrier Reef, Australia, yang kini berada dalam kondisi kritis. “Kita tidak lagi bisa berbicara tentang tipping point sebagai risiko masa depan. Ini adalah kenyataan baru kita,” kata Steve Smith, ilmuwan dari University of Exeter.
Laporan Global Tipping Points 2025, yang melibatkan 160 ilmuwan dari 87 lembaga di 23 negara, menegaskan bahwa terumbu karang adalah sistem ekologi pertama yang secara resmi melewati ambang batas stabilitas. Pemutihan global keempat yang dimulai pada Januari 2023 telah memengaruhi lebih dari 84% ekosistem karang di dunia. Proses ini terjadi ketika karang mengeluarkan alga simbion akibat suhu laut tinggi, kehilangan warna, energi, dan akhirnya mati.
Menurut Michael Studivan dari University of Miami, frekuensi pemutihan kini terlalu sering sehingga periode pemulihan alami karang “tidak lagi terjadi”. Sementara Prof. Michael Kingsford dari James Cook University menegaskan bahwa kondisi katastropik ini bukan ancaman masa depan, melainkan peristiwa yang sedang terjadi. Terumbu karang kini menghadapi gangguan yang lebih parah dan lebih sering dari sebelumnya.
Laporan tersebut juga memperingatkan bahwa bahkan jika suhu global distabilkan pada 1,5°C di atas tingkat pra-industri, sebagaimana ditargetkan dalam Perjanjian Paris 2015, sebagian besar terumbu karang tetap akan hilang. Untuk mempertahankan karang “dalam skala bermakna”, suhu perlu diturunkan kembali mendekati 1°C, yang hanya dapat dicapai dengan mengeluarkan karbon dioksida dari atmosfer. “Kematian massal terumbu karang hangat sudah berlangsung,” kata Prof. Tim Lenton dari University of Exeter.
Dampak dari kehancuran ini jauh melampaui ekologi laut. Lebih dari 500 juta orang di dunia bergantung pada karang untuk pangan, perlindungan pantai, dan ekonomi pesisir. Di Australia, industri wisata Great Barrier Reef menghasilkan lebih dari A$9 miliar per tahun, sementara di Asia Tenggara, kerugian ekonomi akibat kerusakan karang dapat mencapai US$115 miliar. “Kita telah mendorong sistem ini melampaui batas kemampuannya,” ujar Dr. Mike Barrett dari WWF-UK.
Namun, beberapa ilmuwan menilai belum semua harapan hilang. Prof. Peter Mumby dari University of Queensland berpendapat bahwa sebagian karang mungkin mampu beradaptasi hingga suhu 2°C, meskipun ekosistemnya akan sangat berubah. Ia memperingatkan agar masyarakat tidak menyerah karena masih ada peluang untuk memperlambat kehancuran melalui pengelolaan lokal dan pengurangan emisi yang agresif.
Sementara itu, Dr. Tracy Ainsworth dari International Coral Reef Society menyebut bahwa dunia sedang menyaksikan “restrukturisasi besar-besaran ekosistem laut.” Ia menilai bahwa masa depan karang bukan sekadar kehancuran, melainkan transformasi, di mana manusia harus memastikan bahwa sistem laut baru tetap dapat menopang kehidupan dan komunitas pesisir.
Selain terumbu karang, laporan tersebut memperingatkan bahwa sistem Bumi lainnya seperti lapisan es Greenland dan Antartika, arus laut Atlantik (AMOC), dan hutan hujan Amazon kini juga semakin mendekati titik balik berbahaya. Jika pemanasan global mencapai 1,5°C dalam dekade ini, perubahan besar yang tidak dapat dibalik kemungkinan akan menyebar ke berbagai sistem iklim lainnya.
Meski situasi tampak suram, para ilmuwan juga menyoroti “titik balik positif” yang sedang muncul seperti percepatan transisi ke energi bersih, kendaraan listrik, dan teknologi penyerapan karbon. “Kita punya pengetahuan,” kata Manjana Milkoreit dari University of Oslo. “Yang kita butuhkan adalah tata kelola global yang mampu bergerak secepat krisis yang kita hadapi.” Dalam pandangan mereka, nasib terumbu karang dan stabilitas iklim global kini bergantung pada tindakan manusia dalam dekade ini.










