Denpasar – baliwananews.com | Keputusan Bersama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali Nomor: 106/PHDI-Bali/XII/2020 dan Nomor: 07/SK/MDA-Prov Bali/XII/2020 tentang Pembatasan Kegiatan Pengembanan Ajaran Sampradaya Non Dresta Bali di Bali, mendapatkan dukungan dari Gubernur Wayan Koster.
Alasannya, ajaran Sampradana non dresta Bali ganggu fundamental kehidupan krama Bali Gubernur Koster menegaskan, munculnya ajaran Sampradaya non dresta Bali di Bali telah menimbulkan kerisauan, kekhawatiran, dan gangguan terhadap tatanan kehidupan beragama Hindu sesuai dengan dresta Bali, yaitu adat istiadat, tradisi, seni, budaya, dan kearifan lokal Bali yang merupakan fundamental kehidupan krama Bali. Untuk itu, Gubernur Koster menyambut baik terbitnya Keputusan Bersama PHDI Bali dan MDA Provinsi Bali tentang ‘Pembatasan Kegiatan Pengemban-an Ajaran Sampradaya Non Dresta Bali di Bali’.
“Ini sebagai jawaban atas aspirasi dan harapan krama Bali yang telah muncul sejak lama, tetapi tanpa ada kepastian dan penyelesaian. Astungkara, kali ini kita sepatutnya bersyukur, karena Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat Provinsi Bali, sebagai lembaga yang berwenang, secara bersama-sama telah mengeluarkan keputusan yang sangat penting bagi kehidupan krama Ba-li,” ujar Gubernur Koster dalam rilis tertulisnya yang diterima, Kamis (17/12).
Gubernur Koster menilai Keputusan Bersama PHDI Bali dan MDA Provinsi Bali tentang ‘Pembatasan Kegiatan Pengembanan Ajaran Sampradaya Non Dresta Bali di Bali’, sesungguhnya merupakan pengejawantahan visi misi pembangunan daerah Bali ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’ melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana Menuju Bali Era Baru.
“Kita menghormati dan mendukung terbitnya Beputusan Bersama PHDI Bali dan MDA Provinsi Bali tersebut dalam mewujudkan tatanan kehidupan krama Hindu di Bali yang rukun, damai, dan tertib, yang telah terbangun dan mengakar selama berabad-abad berdasarkan adat-istiadat, tradisi, seni, budaya, kearifan lokal Bali. Tatanan kehidupan inilah yang sesungguhnya merupakan jatidiri asli krama Bali (Genuine Bali). Benteng terakhirnya Bali,” tandas Gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini.
Gubernur Koster yang sutindih (membela) Bali, sudah membuktikan komitmennya menjaga adat dan budaya Bali. Dia tercatat telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali. Dalam Perda 4/2020 ini dengan tegas disebutkan bahwa kekayaan dan keunikan adat-istiadat, tradisi, seni, budaya, dan kearifan lokal Bali yang menyatu menjadi tatanan kehidupan beragama Hindu di Bali, menjadi kekuatan aura atau taksu Pulau Bali.
Menurut Koster, harus dipahami dengan sesadar-sadarnya, inilah yang menjadi keunggulan Bali, sehingga Bali menjadi sangat terkenal, dicintai, dan dihormati oleh masyarakat dunia. Atas Keputusan Bersama PHDI Bali dan MDA Provinsi Bali ini, Koster meminta kepada krama Bali agar menerima, mentaati, dan melaksanakannya dengan tertib, disiplin, dan penuh tanggung jawab, sebagai upaya bersama untuk menjaga eksistensi dan keberlanjutan tatanan kehidupan krama Hindu di Bali yang merupakan warisan adiluhung dari Ida Sasuhunan dan Leluhur Bali.
“Inilah komitmen nyata yang wajib dilaksanakan sebagai generasi penerus yang bertanggung jawab terhadap warisan adiluhung tersebut. Jangan sampai terbawa arus nilai-nilai luar yang berpotensi merusak tatanan kehidupan adat-istiadat, tradisi, seni, budaya, dan kearifan lokal Bali,” tegas mantan anggota Komisi X DPR RI (yang membidangi adat budaya, pariwisata, pendidikan, olahraga) dari Fraksi PDIP Dapil Bali tiga kali periode ini.
Koster juga meminta desa adat agar bersinergi dengan pihak terkait untuk mengawal, mengamankan, dan melaksanakan Keputusan Bersama PHDI Bali dan MDA Provinsi Bali tersebut dengan sungguh-sungguh, tulus, dan lurus. “Saya mengajak semua pihak agar bersatu padu dan solid bergerak dengan penuh semangat, guna menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan dinamika perkembangan zaman secara lokal, nasional, dan global yang berdampak terhadap masa depan tatanan kehidupan krama Bali dalam memasuki Bali Era Baru,” terang suami dari dramawati Ni Putu Putri Suastini ini.
Sementara itu, Ketua DPRD Bali I Nyoman Adi Wiryatama menyatakan sikap tegas terhadap keberadaan Sampradaya non dresta Bali di Bali, yakni Hare Krishna. “Untuk Hare Krisna, kami DPRD Bali sudah tegas supaya dibubarkan saja jika mereka menganggu ketertiban umum, masyarakat Bali, adat istiadat, dan budaya Bali. Dari dulu tegas sikap kami,” ujar Adi Wiryatama saat dihubungi NusaBali terpisah, Kamis kemarin.
Menurut Afi Wiryatama, PRD Bali bahkan telah mengirimkan rekomendasi yang merupakan hasil Rapat Pimpinan (Rapim) DPRD Bali, 26 Oktober 2020 lalu, yang dituangkan dalam Surat DPRD Bali Nomor 030/4260/DPRD Bali, kepada Gubernur Bali. “Sikap kami DPRD Bali sudah final terkait dengan Sampradaya Hare Krishna,” tegas politisi senior asal Desa Angseri, Kecamatan Baturiti, Tabanan yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Daerah (Deperda) PDIP Bali ini.
PHDI Bali dan MDA Provinsi Bali sendiri sebelumnya keluarkan Keputusan Bersama tentang ‘Pembatasan Kegiatan Pengembanan Ajaran Sampradaya Non Dresta Bali di Bali’, 16 Desember 2020. Intinya, PHDI dan MDA Provinsi Bali melarang Sampradaya dan pengikutnya yang selama ini dinilai tidak sesuai dengan dresta, adat, dan budaya Bali untuk menggunakan pura dalam setiap kegiatannya.
Bendesa Agung MDA Provinsi Bali, Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, mengatakan melindungi setiap usaha penduduk menghayati dan mengamalkan ajaran agama dan kepercayaannya, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan serta tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.
“Sampradaya non dresta Bali merupakan organisasi dan/atau perkumpulan yang mengemban paham, ajaran, dan praktek ritual yang tata pelaksanaannya tidak sesuai dengan adat, tradisi, seni, dan budaya, serta kearifan lokal dresta Bali,” papar Putra Sukahet saat membacakan surat keputusan PHDI Bali dan MDA Provinsi Bali bersama Ketua PHDI Bali, I Gusti Ngurah Sudiana, di Kantor MDA Provinsi Bali, Jalan Tjokorda Agung Trena Niti Mandala Denpasar pada Buda Umanis Prangbakat, Rabu (16/12) sore.
Untuk menjaga kerukunan, kedamaian, dan ketertiban kehidupan beragama Hindu serta pelaksanaan kegiatan pengembanan ajaran Sampradaya non dresta Bali, maka PHDI Kabupaten/Kota se-Bali ditugaskan secara bersama-sama melarang Sampradaya non dresta Bali di Bali menggunakan pura dan wewidangan (wilayah) serta tempat-tempat umum/fasilitas publik seperti jalan, pantai, dan lapangan untuk berkegiatan.
PHDI Kabupaten/Kota se-Bali juga diminta agar melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap keberadaan Sampradaya non dresta Bali di Bali dalam pengembanan ajarannya. PHDI Kabupaten/Kota harus berkoordinasi dengan MDA sesuai tingkatan dan prajuru desa adat dalam mengawasi, memantau, dan mengevaluasi keberadaan sampradaya non-dresta Bali di Bali.
Putra Sukahet menyebutkan, dengan keputusan bersama PHDI Bali dan MDA Provinsi Bali ini, maka MDA Kabupaten/Kota dan MDA Kecamatan beserta prajuru desa adat se-Bali secara bersama-sama melaksanakan penjagaan kesakralan dan kesucian pura yang ada di wewidangan desa adat. Pura-pura tersebut meliputi Pura Kahyangan Banjar, Pura Kahyangan Desa, Pura Sad Kahyangan, Pura Dang Kah-yangan, dan Pura Kahyangan Jagat lainnya.(hd)