Oleh : Putu Suasta, Kolumnis dan Pemerhati Budaya
Denpasar – baliwananews.com | Putu Suasta, Seorang Pengelana Global yang Alumni UGM dan Cornell University kembali membincangkan tentang Hari Raya Galungan (25 September) dan Kuningan (5 Oktober 2024).
Pemprov Bali mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 7 Tahun 2023 tentang Libur Nasional, Cuti Bersama, dan Dispensasi Hari Raya Suci Hindu di Bali Tahun 2024.
Dalam edaran itu, tertulis bahwa Hari Raya Galungan 2024 diperingati pada 28 Februari dan 25 September 2024.
Hal tersebut dimaksudkan agar umat Hindu di Bali dapat melaksanakan hari raya keagamaan sesuai dengan swadarmanya.
Namun, berdasarkan SKB 3 Menteri tentang Libur Nasional dan Cuti Bersama 2024, tanggal 25 September 2024 tidak termasuk libur nasional. Libur di bulan September 2024 hanya di tanggal 16 September 2024.
Untuk itu, libur Hari Raya Galungan 25 September 2024 hanya berlaku di Bali.
“Untuk itu, kebersamaan dan saling toleransi patut dijaga sebagai implementasi dari nilai dan pesan falsafah Pancasila,” Pendapat Suasta seperti dilansir dari lamanAtnews di Denpasar, Rabu (25/9).
Galungan dan Kuningan saat ini di tengah-tengah perhelatan Pilkada Serentak 2024, setelah kemenangan Pilpres 2024 Prabowo – Gibran yang akan melanjutkan kepemimpinan Presiden Jokowi.
Menurut Suasta, Sang hari terus berputar dalam lingkaran waktu. Tidak terasa Galungan tiba kembali. Masyarakat Hindu di Bali akan “disibukkan ” lagi, setidaknya dua minggu menjelang Galungan, bahan banten (sarana upacara) seperti buah-buahan, jajan khas persembahan, janur bahan banten, daging (babi dan ayam pada umumnya), bumbu-bumbuan, kain poleng-kuning-putih, adalah bagian yang sering diperlukan dan menghiasi menjelang Galungan.
Dan para ibu dan kaum perempuan Bali pun kembali mendapat peran sentral tak kalah dengan lelaki Bali yang mulai sibuk saat menjelang penampahan (satu dari serangkaian hari Galungan) dengan mempersiapkan penjor dan penyembelihan atau pembelian hewan babi.
Ada sejumlah rangkaian urutan dalam pelaksanaan hari Galungan. Tiap rangkaian urutan itu mempunyai arti. Umumnya dimulai dari Sugihan Jawa, dimaknai sebagai pembersihan atau penyucian segala hal di luar diri manusia; Sugihan Bali, dimaknai sebagai pembersihan dalam diri manusia; Penyekeban, dimaknai sebagai pengekangan diri; Penyajaan, dimaknai sebagai persiapan/pembekalan diri dalam menyongsong hari Galungan; Penampahan, dimaknai sebagai persiapan yang mantap untuk menerima hari Galungan; sampai kemudian hari H tiba yang disebut sebagai Hari Galungan
Galungan, dirayakan tiap enam bulan sekali (dengan menerapkan bulan Bali yang berumur 35 hari) dalam perjalanannya diwarnai oleh cerita kultural tentang sosok Maya Denawa sebagai simbol keangkaramurkaan keangkuhan bertempur melawan Sangkul Putih sebagai simbol kebaikan,di mana yang keluar sebagai pemenang adalah Sangkul Putih simbol Kebaikan dan kebenaran.
Dari cerita ini kemudian dimunculkan arti dari Galungan sebagai kemenangan dharma melawan adharma; kebaikan/kesucian melawan kebatilan/keburukan. Dalam pengertian yang lain, Galungan dimaknai sebagai kemenangan umat Hindhu Bali dalam melawan dirinya sendiri selama masa enam bulan (bulan Bali).
Dalam sloka Bhagavadgita 4.8 dijelaskan
paritrāṇāya sādhūnāṁ
vināśāya ca duṣkṛtām
dharma-saṁsthāpanārthāya
sambhavāmi yuge yuge
Artinya
Untuk menyelamatkan orang-orang saleh ,bijak dan mengalahkan sifat dari orang-orang yang berbuat jahat, serta menegakkan kembali prinsip-prinsip kebenaran agama.
Menurut Bhagavad-gītā, sādhu (orang suci) adalah orang yang memahami akan Tuhan. Seseorang mungkin kelihatannya tidak beragama, tetapi mempunyai kualifikasi kesadaran Tuhan secara utuh dan penuh, maka ia dapat dianggap sebagai seorang sādhu.
Dan duṣkṛtām berlaku bagi mereka yang tidak memedulikan kesadaran Tuhan. Orang-orang jahat atau duṣkṛtām tersebut digambarkan sebagai orang yang bodoh dan paling rendah di antara umat manusia, meskipun mereka mungkin telah diberi pendidikan duniawi, sedangkan orang yang seratus persen tekun dalam kesadaran Tuhan diterima sebagai sādhu , meskipun orang tersebut mungkin tidak terpelajar dan tidak berbudaya baik.
Bagi kaum atheis, Tuhan Yang Maha Esa tidak perlu tampil sebagaimana adanya untuk membinasakan mereka, seperti yang dilakukan-Nya terhadap Rāvaṇa dan Kaṁsa. Tuhan mempunyai banyak agen yang cukup kompeten untuk qmengalahkan raksasa atau orang jahat.
Namun Tuhan secara khusus turun untuk menenangkan para pemuja-Nya yang murni, yang selalu diganggu oleh orang yang kerasukan setan. Setan mengganggu pemujanya, meskipun pemuja tersebut mungkin adalah kerabatnya.
Sebagaimana Prahlāda Mahārāja adalah putra Hiraṇyakaśipu, ia tetap dianiaya oleh ayahnya; walaupun Devakī, ibu Kṛṣṇa, adalah saudara perempuan Kaṁsa, ia dan suaminya Vasudeva dianiaya hanya karena Kṛṣṇa akan dilahirkan dari mereka.
Jadi Tuhan muncul terutama untuk menyelamatkan Devakī daripada membunuh Raja Kaṁsa, namun keduanya dilakukan secara bersamaan. Oleh karena itu dikatakan di sini bahwa untuk membebaskan penyembah dan menaklukkan setan penjahat, Tuhan muncul dalam inkarnasi yang berbeda.
Tuhan Yang Maha Esa yang turun disebut inkarnasi, atau avatara. Inkarnasi seperti itu ditempatkan di dunia spiritual, kerajaan Tuhan. Ketika mereka turun ke dunia ciptaan material, mereka mengambil nama avatara. ”
Ada berbagai jenis avatar semuanya muncul sesuai jadwal di seluruh alam semesta. Namun yang dikenal Dashavatara yakni Matsya, Kurma, Varaha, Narasimha, Vamana, Parashuram, Rama, Krishna, Buddha dan Kalki.
Dalam penelitian yang berjudul “Ritual Galungan – Kuningan dan Navrati (Studi Komparasi Hindu Bali dan India)” oleh Muria Khusnun Nisa, Wasil Wasil dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian itu membahas perbandingan ritual Galungan-Kuningan pada Hindu Bali dan Navratri pada Hindu India dengan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif-analitis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan kedua ritual tersebut. Persamaan terdapat pada makna ritual yaitu untuk memperingati kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan), kedua ritual tersebut dilaksanakan setiap dua kali dalam satu tahun, serta memiliki tujuan untuk memohon bhakti kepada Tuhan dan meminta perlindungan-Nya.
Hari raya Galungan-Kuningan dan Navratri juga merupakan bentuk dari salah satu Panca Yadnya yaitu Dewa Yadnya, dengan fokus utama dari perayaan Galungan-Kuningan dan Navratri yaitu untuk beribadah kepada Tuhan.
Perbedaan hari raya Galungan-Kuningan dan hari raya Navratri yaitu terletak pada tata-cara pelaksanaannya dan mitologinya. Penelitian ini merekomendasikan kepada pembaca untuk mengetahui keanekaragaman tradisi dan saling menghargai satu sama lain.
Pengertian Galungan yang lain, sebagaimana diberikan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), adalah piodalan jagat atau oton gumi. Secara lebih luas pengertian yang diberikan PHDI itu dimaksudkan sebagai rasa syukur umat terhadap keberkahan yang berlimpah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menciptakan dunia dengan segenap isinya. Pada saat Galungan inilah umat menghaturkan persembahan, persembahyangan dan permenungan tentang arti menjadi umat-Nya.
Sehari setelah Galungan yang disebut Umanis Galungan, atau populer disebut dengan Manis Galungan, adalah saat-saat saling mengunjungi antarsanak famili, tetangga, sahabat. Juga dapat dimanfaatkan untuk pelesiran.
Sementara itu lontar Sunarigama mengungkapkan bahwa Galungan, yang jatuh pada Budha Kliwon Dunggulan, menyarankan untuk lebih memperhatikan hal-hal rohani karena hakikatnya inilah yang paling inti dari kemanusiaan umat. Dengan memberi perhatian pada rohani, menurut lontar ini, akan memberi pencerahan pada umat dan mengikis hal-hal negatif dari akal pikiran dan hati manusia. Dengan intepretasi lain, Galungan ialah pergolakan dalam diri manusia dalam memenangkan dan menegakkan rohani dalam dirinya saat mengarungi hidup ini.
Dengan pemahaman itu, Galungan ialah perayaan rohani. Dalam konteks yang lebih luas, Galungan ialah momen untuk mengedepankan dharma. Berbagai pemahaman Galungan yang dijelajah dari berbagai sumber, institusi dan para penekun spiritual Hindu, meski diungkapkan dengan cara yang tak sama, namun hakikatnya adalah satu: mengedepankan keutamaan dharma/rohani/kebenaran suci dalam diri manusia. Karena itu, Galungan ialah perayaan dharma yang diwujudkan dengan berbagai implementasi kesucian, perenungan, wacana dharma dan sebagainya.
Manusia ialah ketidaksempurnaan. Dan selalu begitu. Inilah kenyataan yang memunculkan pergolakan terus-menerus. Kegelapan dalam diri manusia ialah pergulatan manusia untuk keluar dari kegelapan itu sendiri menuju cahaya. Inilah pertarungan manusia yang sesungguhnya. Ada banyak yang tak kuasa keluar dari kegelapan itu sendiri justru karena tak ada upaya bertarung, atau karena menjadi pecundang atas dirinya sendiri. Kekalahan inilah, sebagaimana diyakini umat Hindu,melahirkan punarbhawa sebagai kelahiran yang berulang-ulang, atau samsara, derita sepanjang kelahiran kembali.
Secara filosofis, kearifan Bali memiliki banyak sudut pandang memahami keyakinan transenden mereka. Segala segi-segi kehidupan mereka tidaklah hadir begitu saja. Setiap peristiwa yang mengenai diri manusia bukanlah kebetulan. Selalu ada sebab akibat, selalu ada keseimbangan, selalu ada untuk meng-counter apa yang terjadi. Kesadaran inilah yang kemudian mereka munculkan sebagai pengingat, sebagai suatu kosmologi pengetahuan yang bukan saja sekadar teks-teks, simbol-simbol, tetapi alam raya keyakinan yang tertanam kuat turun-tumurun. Itulah, bagi penganut Hindu di Bali, kehidupan mereka bukan sekadar apa yang ada, melainkan apa yang tidak terlihat yang dirasakan secara terus menerus dalam perjalanan siklus waktu. Doa kita semoga Galungan ini membawa sinar kebaikan dan kedamaian untuk semua orang. (hd)