Galungan, Kaliyuga dan Kemenangan Dharma

banner 468x60

Denpasar (Baliwananews.com) – Budayawan Putu Suasta, Seorang Pengelana Global yang Alumni UGM dan Cornell University mengucapkan Hari Raya Suci Galungan dan Kuningan.

Dalam momentum perayaan itu, dimaksudkan agar umat Hindu di Bali dan Nusantara mampu memaknai dengan penuh perhatian sesuai dengan swadarmanya. 

Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Hari Raya Galungan tersebut pertama kali dirayakan di Bali pada hari purnama Kapat tepat Budha Kliwon Dungulan, tanggal 15, tahun saka 804 atau 882 Masehi.

Galungan sempat mengalami masa vakum selama kurang lebih 23 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka. Raja Sri Jayakasunu memulihkan tradisi ini setelah mendapatkan bisikan religius dari Dewi Durga. 

Dengan demikian, Galungan kembali menjadi bagian penting dari kehidupan spiritual dan budaya masyarakat Bali.

Galungan jatuh pada Hari Rabu, 19 November 2025 dan Kuningan Hari Sabtu, 29 November 2025 yang berdekatan dengan Hari Raya Natal dan Tahun Baru 2026. 

Selain itu, bulan ini juga bertuah karena ada perayaan Kartika Purnima adalah hari raya Hindu yang dirayakan pada hari bulan purnama di bulan Kartika pada tanggal 5 November 2025.

Perayaan ini juga dikenal sebagai Tripurari Purnima dan memperingati kemenangan Dewa Siwa atas iblis Tripurasura. Umat ​​Hindu meyakini hari itu menandai kemunculan Avatar Matsya Dewa Wisnu. 

Bulan purnama yang sangat suci, menandai akhir dari bulan Kartika yang penuh berkah. 

Bahkan momen penting adanya “Bali Jatra 2015”, festival yang memperingati perdagangan maritim dan pertukaran budaya antara Odisha dan negara-negara Asia Tenggara, khususnya Bali.

Festival ini dirayakan setiap tahun di Cuttack, Odisha, dan menarik jutaan pengunjung, tanggal 5 – 12 November 2025.

Istilah Bali Jatra secara harfiah berarti ‘Pelayaran ke Bali’. Setiap tahun Kartika Purnima menandai hari keberangkatan para pedagang laut ke kepulauan Indonesia. Untuk festival ini, orang-orang Odisha berkumpul dalam jumlah besar dengan pakaian berwarna-warni untuk merayakan sejarah maritim mereka yang gemilang. 

Menurut Suasta, Sang hari terus berputar dalam lingkaran waktu. Tidak terasa Galungan tiba kembali. Masyarakat Hindu di Bali akan “disibukkan ” lagi, setidaknya dua minggu menjelang Galungan, bahan banten (sarana upacara) seperti buah-buahan, jajan khas persembahan, janur bahan banten, daging (babi dan ayam pada umumnya), bumbu-bumbuan, kain poleng-kuning-putih, adalah bagian yang sering diperlukan dan menghiasi menjelang Galungan.  

Dan para ibu dan kaum perempuan Bali pun kembali mendapat peran sentral tak kalah dengan lelaki Bali yang mulai sibuk saat menjelang penampahan (satu dari serangkaian hari Galungan) dengan mempersiapkan penjor dan penyembelihan atau pembelian hewan babi. 

Ada sejumlah rangkaian urutan dalam pelaksanaan hari Galungan. Tiap rangkaian urutan itu mempunyai arti. Umumnya dimulai dari Sugihan Jawa, dimaknai sebagai pembersihan atau penyucian segala hal di luar diri manusia; Sugihan Bali, dimaknai sebagai pembersihan dalam diri manusia; Penyekeban, dimaknai sebagai pengekangan diri; Penyajaan, dimaknai sebagai persiapan/pembekalan diri dalam menyongsong hari Galungan; Penampahan, dimaknai sebagai persiapan yang mantap untuk menerima hari Galungan; sampai kemudian hari H tiba yang disebut sebagai Hari Galungan 

Galungan, dirayakan tiap enam bulan sekali (dengan menerapkan bulan Bali yang berumur 35 hari) dalam perjalanannya diwarnai oleh cerita kultural tentang sosok Maya Denawa sebagai simbol keangkaramurkaan keangkuhan bertempur melawan Sangkul Putih sebagai simbol kebaikan,di mana yang keluar sebagai pemenang adalah Sangkul Putih simbol Kebaikan dan kebenaran. 

Dari cerita ini kemudian dimunculkan arti dari Galungan sebagai kemenangan dharma melawan adharma; kebaikan/kesucian melawan kebatilan/keburukan. Dalam pengertian yang lain, Galungan dimaknai sebagai kemenangan umat Hindhu Bali dalam melawan dirinya sendiri selama masa enam bulan (bulan Bali). 

Dalam sloka Bhagavadgita 4.8 dijelaskan 
paritrāṇāya sādhūnāṁ
vināśāya ca duṣkṛtām
dharma-saṁsthāpanārthāya
sambhavāmi yuge yuge 

Artinya
Untuk menyelamatkan orang-orang saleh, bijak dan mengalahkan  sifat dari orang-orang yang berbuat jahat, serta menegakkan kembali prinsip-prinsip kebenaran agama. 

Menurut Bhagavad-gītā, sādhu (orang suci) adalah orang yang memahami akan Tuhan. Seseorang mungkin kelihatannya tidak beragama, tetapi  mempunyai kualifikasi kesadaran Tuhan secara utuh dan penuh, maka ia dapat dianggap sebagai seorang sādhu.  

Dan duṣkṛtām berlaku bagi mereka yang tidak memedulikan kesadaran Tuhan. Orang-orang jahat atau duṣkṛtām tersebut digambarkan sebagai orang yang bodoh dan paling rendah di antara umat manusia, meskipun mereka mungkin telah diberi pendidikan duniawi, sedangkan orang yang seratus persen tekun dalam kesadaran Tuhan diterima sebagai sādhu, meskipun orang tersebut mungkin tidak terpelajar dan tidak berbudaya baik.  

Bagi kaum atheis, Tuhan Yang Maha Esa tidak perlu tampil sebagaimana adanya untuk membinasakan mereka, seperti yang dilakukan-Nya terhadap Rāvaṇa dan Kaṁsa. Tuhan mempunyai banyak agen yang cukup kompeten untuk qmengalahkan raksasa atau orang jahat.  

Namun Tuhan secara khusus turun untuk menenangkan para pemuja-Nya yang murni, yang selalu diganggu oleh orang yang kerasukan setan. Setan mengganggu pemujanya, meskipun pemuja tersebut mungkin adalah kerabatnya.   

Ketika Tuhan menyelamatkan planet bumi yang telah jatuh ke Samudra Garbhodaka, Hiraṇyākṣa mencoba menghalangi-Nya, dan kemudian Tuhan, sebagai Varāha, membunuh Hiraṇyākṣa.

Begitu juga Prahlāda, sang bakta agung, dilindungi oleh kekuatan Tuhan, Hiraṇyakaśipu tidak dapat membunuhnya, meskipun telah berupaya dengan berbagai cara.

Sloka Śrīmad-Bhāgavatam 3 7.3 – 3.7.14 menjelaskan ciri – ciri alam ketika akan kelahiran dua Asura Hiraṇyākṣa dan Hiraṇyakaśipu.

Pada saat kelahiran kedua Asura itu terjadilah banyak sekali gangguan alam, semuanya sangat menakutkan dan menakjubkan, di planet-planet surga, planet-planet bumi dan di antara keduanya.

Terjadi gempa bumi di sepanjang pegunungan di bumi, dan tampak ada api di mana-mana. Banyak planet yang tidak menguntungkan seperti Saturnus muncul, bersama dengan komet, meteor, dan petir.

Ketika gangguan alam terjadi di suatu planet, seseorang harus memahami bahwa setan pasti telah lahir di sana. Di zaman sekarang, jumlah orang yang kerasukan setan semakin meningkat; oleh karena itu, gangguan alam juga meningkat. Tidak ada keraguan tentang hal ini, sebagaimana dapat kita pahami dari pernyataan-pernyataan dalam Bhāgavatam.

Angin bertiup sangat kencang, mendesis berulang kali, dan menumbangkan pohon-pohon raksasa. Badai menerjang pasukan mereka dan awan debu menerjang panji-panji mereka.

Ketika terjadi gangguan alam seperti angin topan, panas berlebih atau hujan salju, dan pohon tumbang akibat badai, perlu dipahami bahwa populasi orang jahat meningkat sehingga gangguan alam juga terjadi. Ada banyak negara di dunia, bahkan saat ini, di mana semua gangguan ini terjadi. Hal ini terjadi di seluruh dunia. 

Benda-benda penerang di langit tertutupi gumpalan awan, yang terkadang memancarkan kilat seolah tertawa. Kegelapan merajalela di mana-mana, dan tak ada yang terlihat.

Lautan dengan ombaknya yang tinggi meratap lantang seolah dilanda duka, dan terjadilah kegaduhan di antara makhluk-makhluk penghuni lautan. Sungai-sungai dan danau-danau pun bergolak, dan bunga-bunga teratai pun layu.

Lingkaran kabut muncul di sekitar matahari dan bulan selama gerhana matahari dan bulan berulang kali. Gemuruh guntur terdengar bahkan tanpa awan, dan suara-suara seperti derak kereta perang muncul dari gua-gua pegunungan.

Di pedalaman desa, serigala betina berteriak-teriak dengan suara yang menakutkan, sambil menyemburkan api yang hebat dari mulutnya. Serigala dan burung hantu juga ikut berteriak bersama mereka.

Sambil menjulurkan leher, anjing-anjing itu menangis di sana sini, kadang sambil bernyanyi, kadang sambil meratap.

Keledai-keledai berlarian ke sana kemari secara berkelompok, menghantam tanah dengan kukunya yang keras dan meringkik dengan liar.

Ketakutan mendengar ringkikan keledai, burung-burung pun terbang sambil menjerit dari sarangnya, sedangkan ternak di kandang-kandang sapi maupun di hutan mengeluarkan kotoran dan air seni.

Sapi-sapi yang ketakutan mengeluarkan darah dan bukan susu, awan-awan menghujani dengan nanah, patung-patung dewa di kuil-kuil meneteskan air mata, dan pohon-pohon tumbang tanpa ada hembusan angin.

Planet-planet yang dianggap berbahaya seperti Mars dan Saturnus bersinar lebih terang dan melampaui planet-planet yang dianggap baik seperti Merkurius, Jupiter, dan Venus, serta sejumlah planet di Bulan. Dengan mengambil jalur yang tampak mundur, planet-planet tersebut saling berkonflik.

Ada pula Rāvaṇa dan Kumbhakarṇa, yang dilahirkan oleh Viśravā dalam rahim Keśinī. Mereka sangat menyusahkan seluruh umat manusia di alam semesta. Maka Sri Rāmacandra muncul untuk membunuh Rāvaṇa dan Kumbhakarṇa.

Sebagaimana Prahlāda Mahārāja adalah putra Hiraṇyakaśipu, ia tetap dianiaya oleh ayahnya; walaupun Devakī, ibu Kṛṣṇa, adalah saudara perempuan Kaṁsa, ia dan suaminya Vasudeva dianiaya hanya karena Kṛṣṇa akan dilahirkan dari mereka.  

Jadi Tuhan muncul terutama untuk menyelamatkan Devakī daripada membunuh Raja Kaṁsa, namun keduanya dilakukan secara bersamaan. Oleh karena itu dikatakan di sini bahwa untuk membebaskan penyembah dan menaklukkan setan penjahat, Tuhan muncul dalam inkarnasi yang berbeda. 

Tuhan Yang Maha Esa yang turun disebut inkarnasi, atau avatara. Inkarnasi seperti itu ditempatkan di dunia spiritual, kerajaan Tuhan. Ketika mereka turun ke dunia ciptaan material, mereka mengambil nama avatara. ” 

Ada berbagai jenis avatar semuanya muncul sesuai jadwal di seluruh alam semesta. Namun yang dikenal Dashavatara yakni Matsya, Kurma, Varaha, Narasimha, Vamana, Parashuram, Rama, Krishna, Buddha dan Kalki.

Maka dalam Ramayana dan Mahabharata relevan sekali yang dapat dijadikan renungan umat Hindu dalam merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan. Itihasa tersebut akan relevan sepanjang zaman atau Sanatana Dharma.

Apalagi zalam Kaliyuga, kemakmuran dan kekuasaan material menjadi tujuan utama, sementara kebenaran dan keadilan memudar, dan kebohongan, keserakahan, serta kekerasan merajalela. 

Karakteristik utamanya adalah kebohongan, kemunafikan, keserakahan, dan penurunan etika spiritual. 

Sedangkan, Ahimsa parodharma sebagai dharma tertinggi adalah filosofi hidup non-kekerasan di dalam Veda. Filosofi ini sering disalahpahami oleh para pengikut ajaran Veda sendiri, yang disebut penganut agama Hindu. 

Ajaran ahimsa sering dipahami setengahnya saja, setengah saja, pantang melakukan kekerasan. Akibatnya, penganut Hindu banyak yang jadi generasi lembek, penakut, termasuk takut dalam 
menegakkan kebenaran. Ahimsa bukanlah tidak adanya kekerasan; filosofi ini juga mengajarkan kekerasan untuk mencegah ataupun melawan kekerasan demi melindungi Dharma (Kebenaran/kebajikan). 

Pesan lengkap Mahabharata, yang intisarinya dijadikan pustaka suci terindah di dunia Bhagavadgītā: “Ahimsa paramo dharma, Dharma himsa tathaiva cha”,  artinya: Non-kekerasan adalah dharma tertinggi, demikian juga kekerasan untuk menegakkan Dharma.

Begitu juga motto Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) yakni satyam-eva jayate; artinya “Hanya Kebenaran yang Berjaya.” 

Satyam-eva jayate adalah sebuah mantra dari naskah Hindu kuno Mundaka Upanishad. Setelah kemerdekaan India, perkataan tersebut diadposi sebagai semboyan nasional India.

Perkataan tersebut ditulis dalam bentuk aksara di pangkal lambang nasional. Lambang dan kata “Satyameva Jayate” dicantumkan pada salah satu sisi dari seluruh mata uang India. 

Lambang tersebut merupakan sebuah adaptasi dari Hulu Tiang Singa Asoka yang didirikan sekitar tahun 250 SM di Sarnath, dekat Varanasi di negara bagian utara India Uttar Pradesh. Perkataan tersebut dicantumkan pada seluruh uang kertas dan dokumen nasional.

Bahkan seorang pejuang hebat seperti Bhīṣma tidak dapat memenangkan Pertempuran Kurukṣetra karena Tuhan ingin menunjukkan bahwa kejahatan tidak dapat mengalahkan kebajikan, terlepas dari siapapun yang mencoba melakukannya. 

Bhīṣmadeva adalah seorang penyembah Tuhan yang agung, tetapi ia memilih untuk berperang melawan Pāṇḍava atas kehendak Tuhan karena Tuhan ingin menunjukkan bahwa seorang pejuang seperti Bhīṣma tidak dapat menang di pihak yang salah.

Maka penting dharma dalam mewujudkan peradaban manusia yang sempurna harus ada kelas manusia yang terlatih sepenuhnya sebagai brāhmaṇa yang sempurna. Demikian pula, harus ada kṣatriya untuk memerintah negara dengan sangat baik sesuai dengan perintah śāstra , dan harus ada vaiśya yang dapat melindungi sapi. Kata gāvaḥ menunjukkan bahwa sapi harus diberi perlindungan. 

Karena peradaban Veda hilang, sapi tidak dilindungi, tetapi malah dibunuh tanpa pandang bulu di rumah jagal. Begitulah tindakan raksasa (asura). 

Seorang vaiśya yang sempurna untuk menyediakan makanan dan melindungi sapi, bagaimana orang akan hidup damai? Mustahil.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pohon juga harus dilindungi. Selama masa hidupnya, pohon tidak boleh ditebang untuk keperluan industri. 

Bab 16 Bhagavad-gītā menjelaskan secara lengkap bagaimana para iblis terlibat dalam kegiatan-kegiatan berdosa untuk menghancurkan masyarakat.

Begitu juga dalam Sloka Śrīmad-Bhāgavatam 7.2.14 
pura-grāma-vrajodyāna-
kṣetrārāmāśramākarān
kheṭa-kharvaṭa-ghoṣāṁś ca
dadahuḥ pattanāni ca

Artinya
Para iblis membakar kota-kota, desa-desa, padang rumput, kandang sapi, kebun, ladang pertanian, dan hutan alam. Mereka membakar pertapaan orang-orang suci, tambang-tambang penting yang menghasilkan logam mulia, pemukiman para petani, desa-desa pegunungan, dan desa-desa para pelindung sapi, para penggembala sapi. Mereka juga membakar ibu kota pemerintahan.

Dalam penelitian yang berjudul “Ritual Galungan – Kuningan dan Navarati (Studi Komparasi Hindu Bali dan India)” oleh Muria Khusnun Nisa, Wasil Wasil dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 

Penelitian itu membahas perbandingan ritual Galungan-Kuningan pada Hindu Bali dan Navratri pada Hindu India dengan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif-analitis. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan kedua ritual tersebut. Persamaan terdapat pada makna ritual yaitu untuk memperingati kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan), kedua ritual tersebut dilaksanakan setiap dua kali dalam satu tahun, serta memiliki tujuan untuk memohon bhakti kepada Tuhan dan meminta perlindungan-Nya. 

Hari raya Galungan-Kuningan dan Navratri juga merupakan bentuk dari salah satu Panca Yadnya yaitu Dewa Yadnya, dengan fokus utama dari perayaan Galungan-Kuningan dan Navratri yaitu untuk beribadah kepada Tuhan. 

Perbedaan hari raya Galungan-Kuningan dan hari raya Navratri yaitu terletak pada tata-cara pelaksanaannya dan mitologinya. Penelitian ini merekomendasikan kepada pembaca untuk mengetahui keanekaragaman tradisi dan saling menghargai satu sama lain. 

Suasta juga menjelaskan, Galungan dan Navaratri adalah dua perayaan yang berbeda, tetapi keduanya memiliki beberapa kesamaan. 

Galungan dirayakan di Bali, Indonesia, sedangkan Navaratri dirayakan di seluruh India dan beberapa negara lain.

Makna Galungan merayakan kemenangan dharma atas adharma, sedangkan Navaratri merayakan kemenangan Dewi Durga atas kejahatan.

Durasi, Galungan dirayakan selama 10 hari, sedangkan Navaratri dirayakan selama 9 hari.

Pengertian Galungan yang lain, sebagaimana diberikan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), adalah piodalan jagat atau oton gumi. Secara lebih luas pengertian yang diberikan PHDI itu dimaksudkan sebagai rasa syukur umat terhadap keberkahan yang berlimpah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menciptakan dunia dengan segenap isinya. Pada saat Galungan inilah umat menghaturkan persembahan, persembahyangan dan permenungan tentang arti menjadi umat-Nya.  

Sehari setelah Galungan yang disebut Umanis Galungan, atau populer disebut dengan Manis Galungan, adalah saat-saat saling mengunjungi antarsanak famili, tetangga, sahabat. Juga dapat dimanfaatkan untuk pelesiran. 

Sementara itu lontar Sunarigama mengungkapkan bahwa Galungan, yang jatuh pada Budha Kliwon Dunggulan, menyarankan untuk lebih memperhatikan hal-hal rohani karena hakikatnya inilah yang paling inti dari kemanusiaan umat. Dengan memberi perhatian pada rohani, menurut lontar ini, akan memberi pencerahan pada umat dan mengikis hal-hal negatif dari akal pikiran dan hati manusia. Dengan intepretasi lain, Galungan ialah pergolakan dalam diri manusia dalam memenangkan dan menegakkan rohani dalam dirinya saat mengarungi hidup ini. 

Dengan pemahaman itu, Galungan ialah perayaan rohani. Dalam konteks yang lebih luas, Galungan ialah momen untuk mengedepankan dharma. Berbagai pemahaman Galungan yang dijelajah dari berbagai sumber, institusi dan para penekun spiritual Hindu, meski diungkapkan dengan cara yang tak sama, namun hakikatnya adalah satu: mengedepankan keutamaan dharma/rohani/kebenaran suci dalam diri manusia. Karena itu, Galungan ialah perayaan dharma yang diwujudkan dengan berbagai implementasi kesucian, perenungan, wacana dharma dan sebagainya. 

Manusia ialah ketidaksempurnaan. Dan selalu begitu. Inilah kenyataan yang memunculkan pergolakan terus-menerus. Kegelapan dalam diri manusia ialah pergulatan manusia untuk keluar dari kegelapan itu sendiri menuju cahaya. Inilah pertarungan manusia yang sesungguhnya. Ada banyak yang tak kuasa keluar dari kegelapan itu sendiri justru karena tak ada upaya bertarung, atau karena menjadi pecundang atas dirinya sendiri. Kekalahan inilah, sebagaimana diyakini umat Hindu, melahirkan punarbhawa sebagai kelahiran yang berulang-ulang, atau samsara, derita sepanjang kelahiran kembali. 

Secara filosofis, kearifan Bali memiliki banyak sudut pandang memahami keyakinan transenden mereka. Segala segi-segi kehidupan mereka tidaklah hadir begitu saja. Setiap peristiwa yang mengenai diri manusia bukanlah kebetulan. Selalu ada sebab akibat, selalu ada keseimbangan, selalu ada untuk meng-counter apa yang terjadi. Kesadaran inilah yang kemudian mereka munculkan sebagai pengingat, sebagai suatu kosmologi pengetahuan yang bukan saja sekadar teks-teks, simbol-simbol, tetapi alam raya keyakinan yang tertanam kuat turun-tumurun.

Itulah, bagi penganut Hindu di Bali, kehidupan mereka bukan sekadar apa yang ada, melainkan apa yang tidak terlihat yang dirasakan  secara terus menerus dalam perjalanan siklus waktu. Doa kita semoga Galungan ini membawa sinar kebaikan dan kedamaian untuk semua orang dan Semua Mahluk penghuni Alam Semesta ini. (PS)

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *